SBSINews – Mahasiswa UNTIRTA Banten Kritik PBNU, Soal Rekomendasi Kepada MPR RI- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ( PBNU ) mengumumkan beberapa aspirasi kepada sejumlah Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) RI, diantaranya mengenai rekomendasi amandemen terbatas dan garis-garis besar haluan negara.Pernyataan diatas telah di umumkan oleh PBNU sebagai salah satu Ormas terbesar di Indonesia, Rabu, ( 27/11/ 2019) beberapa hari lalu.

Hal yang paling berkesan bagi saya pribadi, selaku mahasiswa hukum pada program studi Ilmu Hukum Tatanegara Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ( UNTIRTA ) Banten, PBNU menyetujui agar pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh MPR dan tidak dipilih langsung oleh rakyat, dengan dalih pemilihan presiden dan wakil presiden melalui MPR lebih tinggi kemaslahatannya ketimbang pemilihan langsung oleh rakyat, dimana pemilu secara langsung lebih banyak madlaratnya menurut hasil munas NU 2012 lalu, yang pada pokoknya PBNU menginginkan MPR RI menjadi lembaga tinggi negara dengan tujuan agar sistem ketatanegaraan Indoensia lebih tertata.

“Melihat beberapa aspirasi ini, sambung Dewi, seyogyanya merasa perlu agar di tinjau ulang dengan kajian yang lebih komprehensif dan matang,” jelas Dewi

Jika dilihat dari aspek hukum tatanegara Indonesia , demokrasi perwakilan merupakan salah satu cara yang dibenarkan dalam pengambilan keputusan publik.
Indonesia sebagai Negara yang menganut ketatanegaraan trias politica, tentunya punya ciri khas tersendiri, bukan seperti konsep-konsep demokrasi seperti yang dipahami di beberapa belahan dunia.

“Ciri khas demokrasi Indonesia mengatur beberapa cabang lembaga negara yakni konstitutif ( MPR ), Legislativ ( DPR, DPD, dan DPRD ), Eksekutive ( Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota ), Yudikative ( MA ), dan lembaga inspektive ( BPK ), sehingga hal ini yang menjadi pembeda antar demokrasi Indonesia dengan negara lain,” tandas Dewi

Pemisahan cabang kekuasaan diatas sebenarnya guna mempertegas amanat demokrasi Indonesia, dan dalam tatanegara kita disebut Musyawarah dalam mencapai Mufakat.

Selain penegasan diatas, Demokrasi kita juga mengenal dua cara, yakni secara langsung maupun secara tidak langsung, dan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden telah jelas termaktub dalam pasal 6A ayat (1) bahwa presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, pasal ini merupakan hasil dari amandemen ke tiga, dimana sebelumnya Indonesia memiliki histori pada orde lama dan orde baru pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan menggunakan demokrasi tidak langsung.

Sehingga pertanyaan yang terlintas dalam benak publik bahwa mengapa akhirnya Indonesia mengamandemen dan mengganti sistem demokrasi kita yang sebelumnya secara tidak langsung menjadi langsung?, Maka sangat jelas jawabannya bisa dilihat dari Naskah Komprehensif PAH UUD NRI 1945, yang pada pokoknya saat itu para perancang Undang-Undang Dasar melihat bahwa dengan sistem demokrasi tidak langsung banyak mudlarat yang timbul sistem tidak langsung.

Sehingga dalih PBNU mengusulkan pemilihan presiden secara tidak langsung karena melihat banyak maslahat jika di pilih oleh MPR RI terletak di sebelah mana? Justru yang kita lihat dari aspirasi ini adalah bentuk dari kemunduran demokrasi itu sendiri.

Ketika kita menggunakan sistem demokrasi secara tidak langsung, artinya bahwa kita memberikan kesempatan kepada pemangku kekuasaan untuk lebih leluasa dalam pemenuhan keinginannya dan dan ini sangatlah berbahaya, karena sejatinya kekuasaan mampu mengatur serta mengintervensi segalanya.

Tidak bisa di pungkiri bahwa kekuasaan ( power ) selalu berselingkuh dengan kepentingan bukan pada keberpihakan, ia selalu gonta ganti pasangan untuk memenuhi keinginannya.

Kekuasaan berselingkuh dengan Demokrasi secara langsung, berganti pasangan dengan demokrasi tidak langsung, kemudian berselingkuh dengan sistem pemakzulannya, berselingkuh dengan sistem pemerintahannya, dan lain lainnya yang sayangnya dari sekian banyak selingkuhannya itu tidak ada satupun pasangan yang dicintainya, karena pada hakikatnya kekuasaan akan setia hanya pada tujuan kapital semata.

Sehingga saat ini menjadi penting, untuk mengkawal sistem ketatanegaraan kita dengan mengontrol semaksimal mungkin kekuasaan agar tidak liar dalam pemenuhan kebutuhannya.

Salah satu caranya yakni dengan tetap menggunakan demokrasi secara langsung oleh rakyat, meski besar keluar anggaran negara, namun ini akan terbayarkan dengan nilai demokrasi yang mendapat legitimasi rakyat.

PBNU hari ini terlihat berputar pada isu yang usang, isu yang basi yang terus di masak dan dihangatkan kembali, sehingga bagi saya, PBNU cenderung melihat permasalahan negara selalu menggunakan sudut pandang politiknya bukan hal substansial demi kemaslahatan ummat dan bangsa.

“Padahal banyak hal lebih penting yang bisa diselami untuk sekedar memberikan kontribusi didalamnya baik berupa pemikiran dan aspirasi lainnya.” tutup Dewi ( SepangIndonesia.com/SM )

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here