Oleh : Rudi S Kamri
Persidangan sengketa Pilpres 2019 di MK kemaren berjalan lebih dari 20 jam. Selesai jam 3 pagi hari ini. Agenda pemeriksaan saksi ahli dan saksi-saksi berjalan alot sekaligus sangat tidak berkualitas. Kesaksian yang tidak relevan dan bukti-bukti yang lemah menjadikan persidangan ini layaknya sebuah panggung sirkus keserakahan.
Saya tidak bisa membayangkan beban berat yang harus dipikul oleh ke-sembilan hakim MK. Target waktu yang hanya 14 hari sesuai perintah undang-undang membuat beban kerja para hakim MK dan staf MK harus bekerja secara maraton jauh melebihi kapasitas beban maksimum kerja manusia yang seharusnya. Sudah pasti keletihan yang sama dialami para pihak yang terkait yang mau tidak mau ikut terseret dalam kasus sengketa Pilpres ini KPU, TKN dan Bawaslu. Belum lagi anggaran negara yang harus ditanggung oleh rakyat untuk membiayai persidangan kasus ini. Sangat super mahal.
Berlarut-larutnya kasus ini menyebabkan waktu produktif masyarakat juga ikut tersia-siakan percuma. Sebagian rakyat begitu antusias mengikuti kegiatan ini melalui layar kaca yang pasti juga menimbulkan kelelahan yang akut. Lebih dari itu polarisasi masyarakat pun semakin nyata terbelah akibat kasus-kasus ini yang belum menemukan ujung pangkalnya akan seperti apa.
Ini semua bermula sebagai akibat sikap ketidaklegowoan yang ditunjukkan secara frontal oleh Prabowo dan kelompoknya. Drama 5 tahun lalu seolah tayang ulang. Tahun 2014 dengan selisih suara hanya sekitar 6% gugatan Prabowo tidak dikabulkan. Pada Pilpres 2019 ini dengan selisih suara lebih besar yaitu 11% rasanya hanya mukjizat saja yang mampu memenangkan kubu Prabowo. Tapi dengan alat bukti yang sangat minim dan kesaksian para saksi yang begitu lemah rasanya mustahil mukjizat itu akan bisa terjadi.
Meskipun secara konstitusional langkah Prabowo untuk menjalani proses sengketa Pilpres 2019 melalui sengketa di MK perlu kita apresiasi. Namun harga yang harus dibayar oleh negara dan semua pihak termasuk rakyat sangat luar biasa besar. Sebuah konsekuensi keniscayaan proses demokrasi yang harus dibayar mahal. Penyebabnya bukan terletak di proses demokrasinya yang salan tapi dari para pelakunya yang tidak punya jiwa sportifitas dan jebloknya sifat kenegarawanan. Tidak adanya jiwa siap kalah dan tersungkurnya jiwa kesatria dari pelaku demokrasi yang membuat drama Pilpres menjadi sangat menyedihkan.
Yang saya khawatirkan bukan hasil akhir dari proses sengketa Pilpres ini. Tapi dari sebuah kenyataan yang memilukan bahwa realitasnya negara harus menyiapkan panggung bagi kelompok yang kurang legowo untuk menyuarakan narasi- narasi POST TRUTH kepada publik secara terbuka, gratis dan tanpa sensor. Semua terpaksa difasilitasi negara dan media demi sebuah keniscayaan proses konstitusional. Hal menyedihkan yang kita saksikan di dalam persidangan sengketa Pilpres kali ini bukannya sebuah usaha keras dari kubu pemohon untuk membuktikan adanya kecurangan secara TSM, tapi justru rangkaian narasi Post Truth untuk menyerang sang petahana secara Terstruktur, Sistematis dan Masif sekaligus brutal.
Tidak ada yang salah dengan proses demokrasi di negeri ini. Yang salah adalah ketidakmatangan, ketidaklegowoan dan keserakahan ingin berkuasa dari pelaku demokrasi tersebut. Dan lagi-lagi rakyat yang harus menjadi korban. Rakyat pula yang harus menanggung biaya dari semua drama ini.
Mari kita bayangkan seandainya Prabowo legowo. Mari kita bayangkan seandainya Prabowo adalah seorang kesatria demokratis yang mau menerima kekalahan dengan lapang dada. Tentunya tidak akan ada kerusuhan yang memakan korban jiwa sia-sia. Tentunya tidak akan ada drama berlarut-larut dari proses sengketa Pilpres di MK. Tentunya tidak akan ada biaya mahal yang harus ditanggung negara dan rakyat.
Namun mengharapkan Prabowo bersikap seperti harapan kita, rasanya seperti mengharapkan sebuah kemukjizatan yang hampir muskil akan terjadi. (ANFFP)
Salam SATU Indonesia
20 06 2019
Rudi S. Kamri, pengamat sosial politik, tinggal di Jakarta.