Letjen TNI H.R. Dharsono
Sebagai salahsatu panglima andalan Soeharto ketika berupaya menggulingkan Sukarno, Dharsono jelas memiliki hubungan manis dengan “the smiling general”. Soeharto mengangkat Dharsono menjadi panglima Siliwangi –menggantikan Ibrahim Adjie, seorang panglima dengan reputasi anti-korupsi dan pendukung Sukarno– sebagai hadiah dari jasa yang telah diberikannya.
Konflik Dharsono dengan Soeharto baru terjadi ketika Soeharto sudah 10 tahun menjabat presiden dan Dharsono menjabat sekretaris jenderal ASEAN. Ketika berpidato di depan Eksponen 66 di Bandung, Januari 1978, Dharsono melontarkan kritik terhadap pemerintah cum ABRI yang dinilainya makin melenceng.
Kritik Dharsono langsung menuai kemarahan penguasa. Kemarahan itu makin bertambah karena Dharsono enggan mengabulkan tuntutan permintaan maaf dari pemerintah. Akibatnya, Dharsono pun mesti kehilangan jabatan di Setjen ASEAN.
Namun alih-alih berubah jadi “jinak”, Dharsono justru makin membuat penguasa berang lantaran bergabung ke dalam Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD, yang mengambil sikap kritis terhadap penguasa. Setelah Fosko dibubarkan pemerintah, Dharsono mendekat kepada Petisi 50. Meski tak menjadi anggota, hal itu makin membuat penguasa benci. Terlebih, Dharsono makin dekat dengan kalangan Islam.
Setelah Dharsono dan 22 tokoh –mayoritas anggota Petisi 50– menandatangani pernyataan gugatan terhadap pembantaian kalangan Islam oleh ABRI dalam Peristiwa Tanjung Priok, pemerintah lewat plot janggalnya langsung menangkap dia pada 8 November 1984 dan memejahijaukannya. Dharsono dituduh terlibat dalam komplotan Islam garis keras yang meledakkan BCA di Jakarta Kota.
Meski kemudian mendapat pemotongaan tiga tahun masa tahanan, Dharsono yang tak pernah mau minta grasi kepada presiden harus mendekam enam tahun di LP Cipinang. Begitu bebas tahun 1990, Dharsono mengalami pengucilan sebagaimana musuh-musuh Orde Baru lain.
Setelah meninggal dunia pada 5 Juni 1996 akibat tumor otak, pemerintah tak mengizinkan jenazah Dharsono dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung. “Soeharto punya kebencian dan ketakutan pribadi terhadap HR Dharsono yang merupakan seorang panglima, jenderal sungguhan dari Siliwangi, yang berani melawan Soeharto,” kata Adnan Buyung Nasution, pengacara yang membela Dharsono, dalam otobiografi berjudul Pergulatan Tanpa Henti: Menabur Benih Reformasi.
Artikel ini telah terbit di http://historia.id