MESKI cenderung menghindari konflik terbuka, Soeharto beberapa kali terlibat konflik baik sejak masih jadi opsir maupun setelah jadi presiden. Ada yang selesai dalam waktu sebentar, tapi tak sedikit yang berbuntut panjang.
Soeharto tak segan-segan menghabisi lawannya. Bukan hanya urusan profesi yang disikat “The Smiling General” bila mengalahkan lawannya, tapi juga wilayah pribadi mereka. Beberapa jenderal merasakan betul hal itu ketika Soeharto berkuasa.
Berikut ini lima jenderal yang pernah berkonflik dengan Soeharto dan berbuntut panjang ke belakang hingga kehidupan pribadi mereka dipersulit oleh sang penguasa Orde Baru.
Mayjen TNI Pranoto Reksosamodra
Konflik Pranoto dengan Soeharto bermula justru ketika keduanya sedang bersama di pucuk pimpinan Tentara Teritorium (TT) IV Diponegoro. Soeharto sebagai panglima divisi menyelewengkan jabatannya dengan melakukan kegiatan ilegal.
Menurut Pranoto, sebagaimana dikutip Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto, “penyelewengan “Soeharto” berupa barter liar, monopoli cengkeh dari asosiasi pabrik-pabrik rokok kretek Jawa Tengah (PPRK), lalu penjualan besi tua (scrab material) yang disponsori oleh orang-orang Tionghoa yang bernama Liem Sioe Liong, Oei Tek Young, dan Bob Hasan.”
Dalam melakukan kegiatan ilegal itu, Soeharto menggunakan fasilitas, seperti truk, milik TT IV. Mengetahui hal itu, selaku kepala staf Pranoto dan komandan CPM TT IV Letkol Soenaryo langsung menginvestigasinya. Hasil investigasi kemudian dilaporkan Pranoto ke KSAD Jenderal Nasution, yang hampir menghadiahi Seoharto dengan pemecatan.
Sementara Soeharto menjalani hukuman dengan tugas belajar di Bandung, Pranoto naik menggantikan dirinya sebagai panglima Diponegoro. Keduanya bertemu kembali di Jakarta setelah Soeharto menjabat panglima Kostrad dan Pranoto sebagai Asisten III (Personalia) Menpangad A. Yani.
Konflik keduanya kembali terjadi menyusul hilangnya Menpangad A. Yani yang diculik G30S. Pranoto yang ditunjuk Presiden Sukarno menjadi pelaksana harian Angkatan Darat (AD), tak bisa menghadap presiden karena tak diizinkan Soeharto. Sebab, Soeharto telah mengambilalih pimpinan AD.
“Saya tidak dapat secara langsung menghadap Presiden/Pangti dengan tanpa seizin Mayjen Soeharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu. Akan tetapi, Mayjen Soeharto selalu melarang saya untuk menghadap Presiden/Pangti,” ujar Pranoto dalam Memoar Mayor Jenderal Raden Pranoto Reksosamodra.
Soeharto kemudian “mematikan karier” Pranoto dengan menjadikannya perwira tinggi yang diperbantukan pada KSAD. Pada Februari 1966, Soeharto benar-benar mematikan Pranoto, karier maupun pribadi. Lewat Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.37/2/1966 tertanggal 16 Februari 1966, Soeharto menangkap Pranoto.
Soeharto menganggap Pranoto terlibat G30S. “Bukti yang menjadi dasar penahanan Pranoto adalah sepucuk surat dari Kolonel Latif yang berada dalam persembunyian setelah kegagalan Gestapu,” tulis Salim Said. Surat itu didapat Soeharto dari intel yang ditugaskan memburu Latif.
Surat itu berisi permintaan perlindungan kepada Pranoto selaku caretaker AD. Bagi Soeharto, hal itu menimbulkan kecurigaan bahwa Prantoto simpati kepada gerakan. Sebab, secara pribadi Latif jauh lebih dulu kenal dan dekat kepada Seoharto ketimbang Pranoto.
Akibat surat Latif yang tak pernah diterima dan diketahuinya itu, Pranoto harus mendekam di balik jeruji Rutan Blok P mulai Maret 1966. Hampir sebulan di Blok P, Pranoto kemudian menjadi tahanan rumah. Dia kembali masuk bui pada awal 1969 ketika Soeharto mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No. Print.212/TP/1/1969. Pranoto menghuni INREHAB Nirbaya bersama tapol-tapol kelas A lainnya.
Mulai Januari 1975, Pranoto tak lagi mendapatkan hak-haknya seperti gaji schorsing atau penerimaan lain. Hingga dibebaskan pada 1981 berdasarkan SK Pangkopkamtib No. SKEP/04/KOPKAM/1/1981, Pranoto tak pernah menerima surat pemberhentian atau pemecatan resmi dari keanggotaan AD.
Meski begitu, dia tak mendapatkan pensiun sampai akhir hanyatnya dan namanya tak pernah direhabilitasi -hanya Jenderal Nasution yang langsung menelepon Pranoto untuk meminta maaf karena selama ini salah menilai dirinya.
“Saya harus berani menelan pil sepahit ini dan harus pula berani membaca kenyataan dalam hidup yang sudah menjadi suratan takdir,” ujarnya sebagaimana dikutip Manai Sophiaan dalam Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI.