Mengapa terjadi polarisasi di masarakat. Sehingga terbentuk front kadrun dan cebong.? tanya teman tadi sore. Saya katakan bahwa polarisasi itu terjadi karena rendahnya literasi masarakat Indonesi. Bukan hanya soal politik, tetapi juga berkaitan soal agama, sosial dan ekonomi. Di kawasan ASEAN saja, posisi budaya literasi Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sebagai negara dengan penduduk terbanyak ke-5 di dunia, masayarakat Indonesia dianggap tidak gemar membaca, menulis, berhitung ataupun berkreasi yang menjadi ciri kuatnya tingkat budaya literasi suatu bangsa.
Masalah yang sederhana saja. Orang tidak bisa membedaka agama dan beragama. Agama itu bicara tentang pengetahuan akan Tuhan dan seperangkat syariat. Sementara beragama, berkaitan dengan pengamalan dari pengetahuan agama. Kalaulah pengetahuan dan pengamalan tidak sejalan, itu artinya beragama yang salah. Agama? engga salah. Contoh radikalisme itu, itu beragama yang salah. Agama islam sendiri tidak salah. Jadi kalau orang bicara dalam konteks beragama, engga perlu orang islam baper. Mengapa ? Karena orang memang tidak mempermasalahkan agama, tetapi beragama.
Kita juga tidak bisa bedakan politik dan idiologi. Politik adalah pengamalan idiologi. Idiologi sendiri adalah agenda bernegara dan berbangsa. Kalau ada pemilu, kita terbelah. Itu karena semua memahami politik adalah idiologi. Padahal idiologi kita adalah pancasila. Itu sudah final. Para kontestan Pemilu, mereka tidak punya agenda idiologi apapun. Kalau anda baper sehingga persepsi mereka bekerja sesuai agenda selain Pancasilla itu jelas kebodohan sendiri. Lihatlah. Usai pemilu,mereka bisa saling rangkulan. Kalau anda kecewa. Ya itu salah anda sendiri. Itu artinya korban dari kemiskinan literasi.
Sikap kita atas pembubaran HTI dan FPI berbeda. Kita anggap bahwa Jokowi hebat. Akibatnya yang pro Jokowi euforia. Yang anti Jokowi semakin benci. Engga ada yang benar. Padahal pembubaran HTI dan FPI itu karena UU. Walau awalnya usulan dari Jokowi namun tanpa persetujuan anggota DPR, itu tidak akan jadi UU. Padahal kalau FPI dan HTI patuh kepada UU, Jokowi tidak bisa bubarka mereka. Apa artinya ? Masalahnya bukan pada Jokowi tetapi ada pada UU. Terus kenapa harus euforia dan benci kepada Jokowi. Lagi lagi itu karena miskin literasi.
Kita juga kadang tidak bisa menerima perbedaan persepsi antara lembaga negara. Apalagi ada lembaga negara tidak bersikap seperti kita mau. Padahal masing masing lembaga negara itu berkerja berdasarkan UU. Mereka dibiayai oleh APBN. Kesalah pahaman ini terjadi karena miskin literasi. Kita tidak bisa membedakan politik dan Hukum. Padahal dua hal itu sesuatu berbeda. Politik adalah kerja praktis mempengaruhi kebijakan negara. Sementara UU dan Hukum adalah aturan untuk bekerjanya sistem politik yang sesuai dengan Pancasila. Siapapun yang melanggar aturan, itu bukan karena politik tetapi itu murni masalah hukum.
Kita juga tidak bisa bedakan antara investasi dan perdagangan. Akibatnya pasar modal dan mata uang, masuk ranah perdagangan. Ada yang kalah dan menang. Padahal itu korban miskin literasi. Pasar modal itu adalah wahana investasi. Tentu kalkulasinya bukan kalkulasi dagang. Tetapi ya investasi. Anda harus kuasai detail data fundamental emiten dan nature bisnisnya dengan benar. Pasar valas, itu skema lindung atas adanya akad investasi agar tidak dirugikan oleh kurs. Maka ada kotrak futur dan forward. Itu hedging atas kejatuhan atau penguatan kurs. Eh malah jadi spekulatif.
Terakhir, masalah privatpun kita engga bisa bedakan antara menikah dan perkawinan. Menikah itu kontrak sosial atas dasar pemahaman agama. Menikah itu ukuranya keimanan. Bukan nafsu. Perkawinan adalah pengamalan dari nikah itu sendiri. Apa nilai dari perkawinan ? Persahabatan atas dasar cinta karena Tuhan. Sebagian besar pernikahan gagal karena buruknya persahabatan antar pasutri. It is not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages. Itu karena kita miskin literasi tentang menikah dan perkawinan. Ya ukurannya hanya libido alias selangkangan..Apa bedanya dengan prostitusi atau perbudakan.
Penulis : Elizery Jely Bandaro