Oleh : Andi Naja FP Paraga
Hanya sebuah Kabupaten kecil dan bukan kota besar seperti Bandung,Surabaya atau Jakarta akan tetapi disanalah spirit kemandirian sebuah bangsa diletakkan begitu kokoh, bahkan pergerakan pembangunan Sumber Daya Manusianya menginspirasi Bupati Hasto Wardoyo mempraktekan prinsip berdikari dengan tauladan senyapnya.
Apa yang terjadi di Kulonprogo sebetulnya sebuah gerakan sederhana yaitu sebuah gerakan ekonomi yang dijuluki ” Bela dan Beli Kulonprogo” antara lain dengan mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan para pelajar dan Pegawai Negeri Sipil mengenakkan seragam batik geblek renteng pada hari tertentu.
Ternyata dengan jumlah 80.000 pelajar dan 8.000 pegawai negeri sipil menggunakan batik dan menjadi kebijakan daerah mampu mendongkrak industri batik lokal Kulonprogo.
Sentra kerajinan batik tumbuh pesat dari cuma dua centra menjadi 50-an centra. Seribuan perajin batik kulonprogo yang biasa bekerja di DIY Yokjakarta kini bisa bekerja di Kulonprogo.
Puryanto,seorang pengusaha batik di Desa Ngetanrejo mengaku mengaku omzetnya meningkat pesat bahkan pernah mencapai hingga 500 persen.
Namun sang bupati tak berhenti sampai disitu saja, sejak Ia menjabat yaitu tahun 2011 Ia berusaha menjamin pendapatan petani lokal dengan mewajibkan setiap PNS membeli beras produksi petani Kulonprogo 10 kg perbulan. Bahkan beras raskin yang dikelola Bulog setempat kini menggunakan beras produksi petani Kulonprogo.
Bupati cerdas itu juga membuat Perusahaan Daerah Air Minum(PDAM) mengembangkan usaha dengan memproduksi Air Kemasan merek Airku(Air Kulonprogo).
Selain menyumbangkan Pendapatan Asli Daerah(PAD) keberadaan air kemasan ini membangkitkan kebanggaan warga setempat dengan mengkonsumsi air produk daerahnya sendiri. Kini jumlah permintaan lebih besar dari produksi dan oleh karena itu volume produksi akan segera ditingkatkan.
Bupati yang seorang dokter spesialis kandungan lulusan Universitas Gajah Mada(UGM) terus melontarkan berbagai kebijakan lewat program bela dan beli Kulonprogo ternyata mampu menurunkan angka kemiskinan dan dalam setahun saja 2013 ke 2014 dari angka 22,54% menjadi 16,74%(Data Bappeda).
Kebijakan pada aspek kesehatan masyarakat Kabupaten Kulonprogo ini lebih beda lagi. Walau ada warga yang merokok jangan berharap anda akan menemukan iklan produk rokok karena Pemkab Kulonprogo memang menolak sponsor dari perusahaan rokok dan untuk pelayanan kesehatan pemerintah menanggung warganya sebesar Rp 5 juta perorang.
Untuk mengimbangi program Universal Coverage, Rumah Sakit Umum Daerah(RSUD) Wates Kulonprogo memberlakukan layanan tanpa kelas. Artinya ketika kelas 3 penuh pasien miskin bisa dirawat di kelas 2 dan 1 bahkan VIP.
Dan satu lagi kebijakan menarik di Kabupaten ini semua Alfamart, Indomart dan lain-lain tidak diijinkan untuk membuka usahanya kecuali mau bermitra dengan koperasi dengan syarat dan ketentuan tertentu.
Salah satu syarat dan ketentuan itu wajib menampung produk Usaha Kecil Menengah (UKM) didalam gerai tersebut dan mempekerjakan karyawan dari anggota koperasi. Anehnya nama semua gerai itu tidak lagi menggunakan nama aslinya diganti dengan nama TOMIRA(Tokoh Milik Rakyat).
Apa yang sedang berlangsung di Kulonprogo sesungguhnya dapat terjadi dan berlangsung di Kabupaten dan kota lain di seluruh Indonesia, tinggal kemauan pemerintah daerahnya masing-masing dan dukungan besar masyarakatnya. Tentu jika Tauladan ini menjadi pola yang digunakan di setiap Kabupaten/Kota maka kemandirian”Berdikari” itu bukan sekedar Slogan tanpa bisa direalisasikan. Kulonprogo sudah menikmatinya sebaiknya daerah yang lain segera memulainya.
Andi Naja FP Paraga: Mantan Sekjend SBSI