SBSINews – KPK mengungkap akal-akalan yang terjadi dalam kasus suap pemberian izin reklamasi di Tanjung Piayu, Kepulauan Riau. Pengusaha Abu Bakar memberi suap agar izin reklamasi diberikan di Tanjung Piayu.
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengatakan Tanjung Piayu merupakan kawasan budi daya dan hutan lindung. Namun suap diberikan agar resor dan kawasan wisata seluas 10,2 hektare bisa dibangun di sana.
Pemprov Kepri lalu mengajukan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kepri untuk dibahas di rapat paripurna DPRD Kepri. Perda ini nantinya akan menjadi acuan dan dasar hukum pemanfaatan pengelolaan wilayah kelautan Kepri.
“Terkait dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kepri, terdapat beberapa pihak yang mengajukan permohonan izin pemanfaatan laut untuk proyek reklamasi untuk diakomodasi dalam RZWP3K Provinsi Kepri,” kata Basaria di kantornya, Jl Kuningan Persada, Jakarta, Kamis (11/7/2019).
Pada Mei, Abu Bakar mengajukan izin pemanfaatan laut untuk melakukan reklamasi di Tanjung Piayu, Batam, untuk pembangunan resor dan kawasan wisata seluas 10,2 hektare. Karena izin tidak sesuai dengan peruntukan, Gubernur Kepri Nurdin Basirun memerintahkan anak buahnya agar izin yang diajukan Abu Bakar bisa disetujui.
Dua anak buah Nurdin adalah Edy Sofyan sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov Kepri dan Budi Hartono sebagai Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Pemprov Kepri. Agar izin disetujui, Abu Bakar diminta membuat keramba budi daya di dalam izin tersebut.
“Untuk mengakali hal tersebut, BUH (Budi Hartono) memberi tahu ABK (Abu Bakar), supaya izinnya disetujui, maka ia harus menyebutkan akan membangun restoran dengan keramba sebagai budi daya ikan di bagian bawahnya. Upaya ini dilakukan agar seolah-olah terlihat seperti fasilitas budi daya,” ungkap Basaria.
Budi dan Edy lalu bekerja sama agar izin Abu Bakar bisa disetujui. Dalam proses pelengkapan dokumen pengajuan izin reklamasi, Edy tidak benar-benar melakukan analisis.
“Setelah itu, BUH memerintahkan EDS (Edy Sofyan) untuk melengkapi dokumen dan data dukung agar izin ABK segera disetujui. Dokumen dan data dukung yang dibuat EDS tidak berdasarkan analisis apa pun. EDS hanya melakukan copy paste dari daerah lain agar cepat selesai persyaratannya,” jelas Basaria.
Atas hal itu, Nurdin diduga menerima sejumlah pemberian dari Abu Bakar melalui Edy. Setidaknya ada dua kali penerimaan yang dicatat KPK, yaitu sebesar SGD 5.000 dan Rp 45 juta pada 30 Mei 2019 serta sebesar SGD 6.000 pada 10 Juli 2019.
Selain itu, Nurdin rupanya diduga menerima gratifikasi. Hal itu diketahui KPK dari temuan sejumlah uang di rumahnya dalam beberapa mata uang yang totalnya sekitar Rp 600 juta.
Dalam kasus itu KPK menetapkan empat tersangka. Gubernur Kepri Nurdin Basirun, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov Kepri Edy Sofyan, dan Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Pemprov Kepri Budi Hartono ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap. Sedangkan Abu Bakar sebagai swasta ditetapkan sebagai tersangka karena diduga memberi suap.
Nurdin disangkakan menerima suap dan gratifikasi dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan Edy dan Sofyan disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Abu Bakar sebagai pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (Sumber: detikNews.com)