SBSINews – KPK membeberkan 26 poin pelemahan lembaganya yang terkandung dalam UU KPK. UU itu telah disahkan DPR pada 17 September lalu. KPK akan merumuskan langkah selanjutnya untuk meminimalisir efek destruktif UU itu.
“26 Poin ini kami pandang sangat beresiko melemahkan atau bahkan riskan bisa melumpuhkan Kerja KPK, karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini. Jadi, jika ada pihak-pihak yang mengatakan revisi UU KPK saat ini memperkuat KPK, baik dari aspek Penindakan ataupun Pencegahan, dilihat dari 26 poin di atas hal tersebut tidak dapat diyakini kebenarannya,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangannya, Rabu (25/9/2019).
Tim KPK juga melihat ada yang tidak sinkron antara pasal satu dengan yang lainnya. Hal itu menimbulkan problem multitafsir yang menyulitkan KPK menangani perkara korupsi. Ini tak akan terjadi bila proses pembahasan UU lebih transparan dan melibatkan publik, termasuk melibatkan KPK, serta tidak terburu-buru. Tapi proses seperti itu tak dilakukan DPR.
“Tim KPK yang sudah ditugaskan Pimpinan akan terus mendalami poin-poin di UU ini untuk melihat lebih jauh apa saja tindakan yang dapat dilakukan untuk meminimalisir efek kerusakan terhadap KPK ke depan,” kata Febri.
Berikut adalah 26 poin pelemahan KPK dalam UU KPK:
1. Pelemahan Independensi KPK
• KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif;
• Rumusan UU hanya mengambil sebagian dari Putusan MK, namun tidak terbaca posisi KPK sebagai badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman dan lembaga yang bersifat constitutional important.
• Pegawai KPK merupakan ASN, sehingga ada resiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya;
2. Bagian yang mengatur bahwa Pimpinan adalah penanggungjawab tertinggi dihapus;
3. Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas, misal: berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan.
4. Kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu: memberikan atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Bagaimana jika Dewan Pengawas tidak mengizinkan? Siapa yang mengawasi Dewan Pengawas?
5. Standar larangan Etik, dan anti konflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih Rendah dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK.
• Pasal 36 tidak berlaku untuk Dewan Pengawas, sehingga:
i. Dewan Pengawas tidak dilarang menjadi komisaris, direksi, organ yayasan hingga jabatan profesi lainnya;
ii. Dewan Pengawas Tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK
iii. Sementara itu pihak yang diawasi diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi dengan sejumlah larangan dan ancaman pidana di UU KPK.
6. Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.
7. Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan beresiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas Penindakan;
8. Salah satu Pimpinan KPK pasca UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur (kurang dari 50 tahun);
• Terdapat ketidakcermatan pengaturan untuk usia Pimpinan KPK minimal 50 tahun, padahal keterangan dalam kurung tertulis “empat puluh” tahun (Pasal 29 huruf e);
• Alasan UU tidak berlaku surut terhadap 5 Pimpinan yang terpilih tidak relevan, karena Pasal 29 UU KPK mengatur syarat2 untuk dapat diangkat.
• Pengangkatan Pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden. Jika sesuai jadwal maka pengangkatan Pimpinan KPK oleh Presiden baru dilakukan sekitar 21 Desember 2019, hal itu berarti UU Perubahan Kedua UU KPK ini sudah berlaku, termasuk syarat umur minimal 50 tahun.
• Jika dipaksakan pengangkatan dilakukan, terdapat resiko keputusan dan kebijakan yang diambil tidak sah.
9. Pemangkasan kewenangan Penyelidikan
• Penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke Luar Negeri
• Hal ini beresiko untuk kejahatan korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku lebih mudah kabur ke luar negeri saat Penyelidikan berjalan;
10. Pemangkasan kewenangan Penyadapan
• Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap Penuntutan
• Penyadapan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi
i. Jika UU ini diberlakukan, ada 6 tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu, yaitu:
1. Dari penyelidik yang menangani perkara ke Kasatgas
2. Dari Kasatgas ke Direktur Penyelidikan
3. Dari Direktur Penyelidikan ke Deputi Bidang Penindakan
4. Dari Deputi Bidang Penindakan ke Pimpinan
5. Dari Pimpinan ke Dewan Pengawas
6. Perlu dilakukan gelar perkara terlebih dahulu
ii. Terdapat resiko lebih besar adanya kebocoran perkara dan lamanya waktu pengajuan Penyadapan, sementara dalam penanganan kasus korupsi dibutuhkan kecepatan dan ketepatan, terutama dalam kegiatan OTT.
11. OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan Penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK;
12. Terdapat Pasal yang beresiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi, yaitu:
Pasal 6 huruf a
KPK bertugas melakukan:
a. Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi
• Hal ini sering kita dengar diungkapkan oleh sejumlah politisi agar ketika KPK mengetahui ada pihak-pihak yang akan menerima uang, maka sebaiknya KPK “mencegah” dan memberitahukan pejabat tersebut agar tidak menerima suap.
13. Ada resiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait Penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU KPK
• Terdapat ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait perkara, namun tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan juga siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut;
• Ada ancaman pidana terhadap pihak yang melakukan Penyadapan atau menyimpan hasil penaydapan tersebut;
• Ancaman pidana diatur namun tidak jelas rumusan pasal pidananya
14. Ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus;
• Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi;
• Namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada resiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri;
15. Berkurangnya kewenangan Penuntutan
• Pada Pasal 12 (2) tidak disebut kewenangan Penuntutan. Hanya disebut “dalam melaksanakan tugas Penyidikan”, padahal sejumlah kewenangan terkait dengan perbuatan terhadap Terdakwa.
• Norma yang diatur tidak jelas dan saling bertentangan. Di satu sisi mengatakan hanya untuk melaksanakan tugas Penyidikan, tapi di sisi lain ada kewenangan perlakuan tertentu terhadap Terdakwa yang sebenarnya hanya akan terjadi di Penuntutan;
16. Dalam pelaksanaan Penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait.
• Tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
17. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN;
18. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN;
19. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara. Dapat membuat KPK sulit menangani kasus-kasus korupsi besar seperti: EKTP, BLBI, Kasus Mafia Migas, korupsi pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar. Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat batasan waktu untuk SP3, padahal KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana umum.
20. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara, seperti: Perlunya izin untuk memeriksa pejabat tertentu. Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa;
21. Terdapat pertentangan sejumlah norma, seperti: Pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di Pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan.
22. Hilangnya posisi Penasehat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, apakah Penasehat menjadi Dewan Pengawas atau Penasehat langsung berhenti saat UU ini diundangkan;
23. Hilangnya Kewenangan Penanganan Kasus Yang Meresahkan Publik (pasal 11)
• Sesuai dengan putusan MK nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, kewenangan ini adalah wujud peran KPK sebagai trigger mechanism bagi aparat penegak hukum lain, untuk dalam keadaan tertentu KPK dapat mengambil alih tugas dan wewenang serta melakukan tindakan yang diperlukan dalam penanganan perkara korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan yang proses pemeriksaan yang tidak kunjung selesai, tidak memberikan kepastian hukum yang meresahkan masyarakat. (Sumber: detiknews/SM)