Oleh: Jacob Ereste

“…Upaya mencari bentuk konstruksi pertahanan dan ketahanan budaya bangsa Indobesia menjadi semakin rekevan….”

Meski tidak sepenuhnya sepakat dengan ramalan Samuel P. Huntington tentang komflik peradaban seperti  yang digambarkannya melalui buku The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996), sejak berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya ideologi komunisme, wilayah konflik meluas melewati fase Barat, dan kemudian yang mewarnainya adalah hubungan antara peradaban Barat dan non-Barat itu sendiri. Ia terus membagi kelompok negara-negara bukan atas dasar sistem politik ekonomi, tetapi lebih berdasarkan budaya dan peradaban. Ia mengidentifikasi sembilan peradaban kontemporer, yaitu: peradaban Barat, Cina, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, Islam, dan Kristen Ortodoks.

Atas dasar itulah dia meramalkan benturan yang paling keras – menurut Huntington – akan terjadi antara kebudayaan Kristen Barat dengan kebudayaan Islam. Tesis tersebut secara tidak langsung memperkuat asumsi sebagian besar ilmuwan Barat yang melihat Islam sebagai aggression and hostility (agresi dan ancaman). Setidaknya Barat telah membuat stereotipe-stereotipe simplistis yang menunjukkan wajah the rage of itulah Vita Fitria telah menuliskan paparan anslisis yang sungguh bagus dan mengagumkan tentang ramalan Samuel P. Huntington yang  culas ini.

Ternyata apa yang dimaksud Samuel P. Huntington dari peradaban itu pun definisinya agak rancu. Peradaban yang dia jelaskan bisa terdiri dari negara dan kelompok sosial, seperti kelompok etnik dan minoritas religius. Tapi peradaban bisa juga mengacu pada kedekatan geografik dan persamaan bahasa. Namun yang menjadi kriterium utama dalam definisinya ikhwal peradaban ini adalah agama yang dominan.

Tampaknya, buku Samuel P. Huntington ini telah memantik pula sentimen Barat yang gerah tergadap umat Islam hingga beberapa negara menjadi sangat ketat menerima kunjungan sosok umat Islam yang mempunyai identitas nama dan ciri khas tertentu. Hingga perlakuan pihak Barat pun seperti yang sempat menjadi topik dan sorotan sangat serius dari Donald Trump sesaat menjabat Presiden AS memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi kemudian terus disambut oleh demo akbar yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah dalam jumlah jutaan ummat Islam di Indonesia, seperti yang ditandai dengan unjuk rasa yang dikenal dalam sebutan 212 atau 411. Bagi banyak orang mobilisasi massa yang dasyat itu di Indonesia lebih dari cukup jadi tanda bangkinya kesadaran ummat Islam dalam konteks budaya atau fenomena telah dimulainya gerak dari benturan antarbudaya seperti yang dibayangkan Samuel P. Huntington.

Persoalan yang muncul kemudian adalah, apakah ummat Islam Indonesia umumnya telah menyadari ada benturan antar peradaban termasuk benturan yang sangat mungkin direkayasa benturannya antara umat Islam sendiri ?

Agaknya, pada rekayasa ini benturaran antara peradaban dengan peradaban Islam ini lebih patut diwaspadai, jika mau menilik agak jernih gejala yang semakin riuh dan terjadi secara sistematis sejak 15 tahun terakhir di tanah air kita.

Dalam kondisi dan situasi seperti inilah, relevan upaya mencari bentuk pertahanan dan ketahanan budaya Bangsa Indonesia untuk membingkai prilaku dan tata hidup manusia Indonesia yang unggul, tangguh dan menang menghadapi terpaan serta gerusan zaman.

Banten, 13 Novemver 2018

Jacob Ereste: Atlantika Institut Nusantara

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here