Apapun yang berhasil dicapai oleh gerakan buruh saat ini, telah berhutang pada perjuangan gerakan buruh di rezim otoriter Soeharto. Kebebasan dan kemudahan mendirikan serikat, kemudahan mengumpulkan anggota tanpa takut ditangkap, melakukan rapat akbar, aksi mogok, bahkan peringatan May Day (Hari Buruh Internasional) tidak terlepas dari dari perjuangan dan pengorbanan gerakan buruh di era kediktatoran Soeharto.
Pada masa Orde Baru, gerakan masyarakat sipil begitu direpresi, tidak terkecuali gerakan buruh. Para aktivis serikat buruh harus berjuang dengan hati-hati karena rezim Soeharto saat itu mencabut hak-hak politik warga negara dan mempersempit ruang kebebasan berserikat. Hanya satu serikat buruh yang diakui saat itu dan kebanyakan pengurusnya—dari tingkat kabupaten hingga nasional—diisi oleh militer aktif.
Namun situasi yang suram itu mampu melahirkan aktivis-aktivis buruh perempuan dan laki-laki yang berani menentang kekuasaan dan memperjuangkan keadilan. Mereka mennyembunyikan rasa takut dan keluar untuk mengorganisir buruh-buruh di kawasan industri untuk melawan kesewenang-wenangan perusahaan dan negara. Sesuatu yang saat itu taruhannya adalah nyawa atau dinding penjara.
Ada Marsinah yang mati dibunuh dengan keji oleh tentara karena melancarkan mogok di perusahaannya di Sidoarjo. Ada Wiji Thukul di Solo yang diculik dan hilang sampai saat ini karena dianggap berbahaya mengorganisir buruh-buruh di kawasan kumuh. Ada Muchtar Pakpahan di Sumatera Utara yang dipenjara bertahun-tahun karena mendirikan serikat yang tidak direstui kekuasaan. Ada ribuan lagi cerita-cerita perjuangan melawan rezim Soeharto dari aktivis-aktivis buruh di berbagai tempat.
Pengalaman-pengalaman pribadi maupun kolektif dari gerakan buruh di era otoritarianisme Soeharto penting untuk diketahui oleh gerakan buruh sekarang. Dengan begitu, kita dapat menghindari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya dan mengambil pelajaran-pelajaran berharga untuk diperbarui di mas
Runtuhnya rezim Soeharto pada 1998 ditandai dengan kembalinya kebebasan politik warga negara. Dalam konteks gerakan buruh, hal ini ditandai dengan berakhirnya monopoli serikat buruh tunggal yang direstui rezim otoriter dan menjamurnya serikat-serikat buruh baru. Hak-hak kebebasan berserikat yang selama 32 tahun kekuasaan Soeharto dicabut, kembali bisa digunakan. Kegiatan mengorganisir buruh bisa dilakukan tanpa takut dikuntit tentara. Kegiatan melakukan rapat akbar dan mogok kerja kini menjadi peristiwa harian yang bisa dilakukan tanpa takut dijebloskan ke penjara.
Situasi demokrasi pasca Orde Baru jelas memberikan keuntungan bagi pemenuhan sebagian dari hak-hak politik buruh. Namun di saat bersamaan, gerakan buruh juga menghadapi ganasnya sistem pasar kerja fleksibel. Pekerjaan outsourcing dan kontrak semakin menjamur, tidak adanya kepastian kerja, perusahaan semakin mudah melakukan relokasi dengan mem-PHK buruh tanpa memberikan pesangon, dan diberlakukannya kebijakan upah murah (melalui PP 78/2015 dan Omnibus Law).
Singkatnya, secara politik buruh memiliki kekuatan namun secara hukum buruh sama sekali tidak dilindungi. Munculnya jutaan pekerjaan baru di industri kreatif dan gig economy yang memiliki potensi besar dalam pengorganisiran, juga berlangsung dalam situasi ketenagakerjaan yang buruk ini.
Sekali lagi Secara Politik Buruh memiliki Kekuatan, tapi Secara Hukum Buruh tak terlindungi. Inilah yang harus diperjuangkan oleh Pejuang Buruh saat ini melanjutkan yang belum bisa dicapai oleh Para Pendahulu. Ini Pekerjaan Rumah(PR) besar dimana membutuhkan konsolidasi yang serius dan matang.
Kepada Para Pejuang Buruh dan Buruh Pejuang Era Orde Baru kita berhutang kepada mereka. Oleh karenanya disisa hari Bulan Kemerdekaan Agustus 1945 ini layak bagi kita untuk mendoakan Para Mendiang bahkan didedikasikan dan diperjuangkan untuk menjadi Putra Terbaik Bangsa yang diakui secara Sah oleh Negara di Masa yang akan datang.
Salam Solidaritas
Andi Naja FP Paraga
Ketua PP Federasi Media Informatika dan Grafika KSBSI