Mengikuti perjalanan pemerintah mengatasi Covid-19 sejak Maret 2020, bagaikan menonton kisah-kisah di film perang produk hollywood. Tidak sebatas melawan “para bandit”, tetapi segenap para pembenci Presiden Jokowi beserta “turunannya”.
Sejak awal Kementerian Kesehatan mengumumkan bahaya Covid-19, tidak serta merta potensi rakyat bersatu-padu membangun kekuatan (bersinergi) agar republik ini bisa mengatasinya dengan baik. Kelompok oposisi justru menjadikannya sebagai panggung menyerang pemerintah, para pemburu rente mencari celah mendapatkan keuntungannya, sekumpulan dokter melakukan perlawanan melalui pernyataan-pernyataan yang membingungkan, hingga kelompok agamawan yang mencoba “tanding bebas” antara virus dengan keimanan pengikutnya.
Patut dicatat, Presiden Jokowi dengan segenap kabinetnya sungguh kerja ekstra, menghadapi realita yang ada. Ketika pihak oposan menekan dengan pernyataan-pernyataan miring menyudutkan pemerintah, Presiden Jokowi tetap berprinsip bekerja mengutamakan perlindungan kepada rakyatnya; memprioritaskan keselamatan jiwa dan stimulus ekonomi rakyat dan negara. Sedikit pun tak terlihat beliau mundur dari prinsip bekerja untuk rakyatnya dan mengabaikan orang yang selalu nyinyir kepadanya.
Para pembenci Jokowi menginginkan moment Covid-19 menjatuhkan pemerintahan yang sah hasil Pemilu 2019 itu dengan tuduhan-tuduhan keji, hingga menggugat Perpu No.1/2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistim keuangan ke Mahkamah Konstitusi. Bisa dibayangkan, seandainya Perpu itu dibatalkan MK ? Negeri ini akan kacau, para “bohir” dari luar negeri maupun dalam negari pun akan turun gelanggang, sehingga sesama kita anak bangsa saling serang dan bukan tidak mungkin saling bunuh.
Tetapi kejernihan berpikir para hakim MK masih terpelihara. Mereka melihat keluarnya Perpu itu benar-benar dalam keadaan memaksa, termasuk satuan-satuan tugas yang dibentuk Presiden Jokowi. Kalaupun di kemudian hari, ada Menteri Sosial yang tersandung kasus bansos, sejumlah kepada daerah juga yang diduga pihak kepolisian bermain dalam penyaluran bansos, itu merupakan tanggungjawab personal.
Jauh hari sebelumnya ,Presiden Jokowi sudah menekankan agar akuntabilitas dan transparansi keuangan itu benar-benar dilaksanakan para penanggungjawabnya. Karena itu jugalah Presiden Jokowi pernah marah-marah, karena serapan anggaran di beberapa kementerian tidak sesuai ekspektasinya.
Ketika stimulus ekonomi sudah berjalan pada tracknya, Presiden Jokowi Menyusun strategi bagaimana mendapatkan vaksin Covid-19. Sebab ternyata, para pakar di republik tercinta belum mampu menggali sendiri vaksin atau setidaknya belum mampu bersaing dengan negara lain “lomba cepat” membuat vaksin Covid-19. Jika pun penilaian ini terlalu maju, mereka hanya pintar berkomentar di televisi perihal virus.
Sungguh diluar akal sehat yang terjadi. Ketika tim yang diturunkan Presiden Jokowi meloby negara/perusahaan yang memproduksi vaksin, para “bandit-bandit” itu kembali menabur pernyataan menyesatkan. Seolah terjadi kepentingan-kepentingan para Menteri dalam meloby. Pada hal, beratus negara mengantri mendapatkan kesempatan . vaksin itu. Jejak digital mencatat, sejak Mei 2020 pemerintah telah menurunkan tim ke beberapa negara (AS, RRT, UEA dan UK) agar Indonesia mendapat prioritas mendapatkan vaksin. Sebab saat itu, negara-negara tersebut masih dalam proses pembuatan vaksin. Enam bulan setelahnya, setelah melawati uji klinis berjenjang, dijadwalkan sudah bisa diproduksi massal.
Karena itulah awalnya, pemerintah memprediki pada Desember sudah bisa diawali melakukan vaksinasi kepada para tenaga Kesehatan. Sebab merujuk jadwal produsen, November sudah diproduksi massal. Namun akhirnya tertunda juga. Produsennya nyaris mengalihkan jatah yang disepakati ke negara lain, karena ulah orang-orang dalam negeri sendiri yang memperolok-olok negara produsen. Selain itu juga karena adanya prosedural izin edar dari BPOM dan MUI. Artinya, prosedural masih tetap biasa-biasa pada kasus yang luar biasa. Itulah republik tercinta. Seharusnya kedua Lembaga itu juga harus bekerja extraordinary. Bahasa gaulnya menjemput bola.
Mendelay satu bulan itu, sebenarnya sangat berarti dalam kondisi kritis seperti sekarang. Seharusnya pada tenaga kesehatan dan pelayan publik sudah selesai divaksin. Mereka pun akan lebih percaya diri bekerja. Apalagi sejak desember lonjakan terpapar Covid-19 meningkat drastis secara nasional.
Terkadang muncul pikiran saya yang praktis dan ekstrim. Seandainya pemerintah berpikir sama dengan saya, prosuderal yang mempersulit/memperpanjang birokrasi vaksin diabaikan saja. Yang mau divaksin silahkan datang untuk divaksin, yang masih ragu dengan izin edar BPOM dan stempel halal dari MUI, boleh belakangan. Karena pada kenyataannya, banyak juga obat dan makanan tidak ada izin edar yang dikonsumsi rakyat tetapi tetap sehat. Begitu juga dengan stempel halal MUI, kulkas saja bisa mendapat lebel halal, Agedo.
Penulis
Dohardo Harianja