Ketua Mahkamah Agung (MA) Syarifuddin prihatin terhadap jalannya sidang dengan terdakwa Habib Rizieq Shihab (HRS). Dia menilai telah terjadi penyerangan terhadap kehormatan hakim dalam sidang itu.
“Beberapa hari yang lalu telah terjadi lagi peristiwa penyerangan terhadap kehormatan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang membuat kita semua prihatin,” kata Syarifuddin.
Hal itu disampaikan dalam sambutan pembukaan ‘Silaturahmi Nasional dengan Pengurus Daerah dan Pengurus Cabang Ikatan Hakim Seluruh Indonesia’ dalam rangka memperingati HUT Ikatan Hakim Indonesia ke-68, Kamis (18/3/2021). Silaturahmi itu dilakukan secara offline dan online.
“Oleh karena itu, dalam forum ini saya meminta kepada Ikahi agar terus memperjuangkan UU Contempt of Court supaya tidak terjadi lagi tindakan-tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabat hakim. Selain itu, perbaikan kesejahteraan bagi para hakim juga harus terus diperjuangkan karena PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung sudah selayaknya untuk direvisi,” ujar Syarifuddin.
Syarifuddin juga menyatakan, panggilan ‘Yang Mulia’ yang ditujukan kepada hakim bukan untuk dibangga-banggakan. Panggilan tersebut harus menjadi pengingat bagi hakim bahwa kemuliaan jabatan hakim itu tidak diukur dari kewenangan dan kekuasaannya yang besar, melainkan diukur dari sikap dan perilaku hakim sendiri.
“Sikap dan perilaku kitalah yang akan menentukan apakah kita layak atau tidak dipanggil dengan sapaan ‘Yang Mulia’. Artinya, jika sikap dan perilaku kita tidak lebih baik dari orang-orang yang kita adili, sesungguhnya kita tidak layak menyandang sapaan ‘Yang Mulia’,” beber Syarifudidn.
“Untuk itu, marilah kita sama-sama merenungkan kembali dan bertanya kepada diri kita masing-masing, apakah kita telah pantas menjadi seorang hakim? Agar kita tidak lupa bahwa kita adalah manusia yang tidak luput dari salah dan khilaf, sehingga dengan kesadaran itu, kita akan berusaha untuk selalu memperbaiki diri,” sambungnya.
Syarifuddin juga mengingatkan seorang hakim dilarang saling mengintervensi dan mengomentari perkara yang diadili oleh sesama hakim yang lain. Hakim harus membiasakan diri untuk tidak mengatakan semua yang dipikirkan jika itu akan menimbulkan gangguan bagi kemandirian hakim yang lain.
“Hakim harus lebih banyak mengungkapkan pemikirannya di dalam pertimbangan putusan, bukan di media sosial, atau di ruang publik lainnya, kecuali dalam kaitannya dengan kajian-kajian ilmiah di forum akademik,” beber Syarifuddin.
Sebelumnya, salah satu pengacara Habib Rizieq Shihab, Novel Bamukmin, mengamuk saat persidangan terkait kasus tes swab di RS Ummi Bogor. Novel berang hingga menunjuk-nunjuk majelis hakim.
“Ini kan kita sudah berkali-kali meminta kepada hakim dengan penjelasan sejelas-jelasnya agar Habib Rizieq dihadirkan sesuai dengan ketentuan UU yang ada. Kalau alasan prokes, saya juga sampaikan dalam persidangan agak sedikit keras, meninggi suara saya, alasannya apaan, kan kita justru hampir 40 orang tim advokasi rapat-rapat juga, sangat rapat berada di bangku penasihat hukum,” kata Novel ketika dihubungi, Selasa (16/3).
Pejabat Humas PN Jaktim, Alex Adam Faisal, menjelaskan tindakan Novel Bamukmin itu belum tentu dikategorikan sebagai contempt of court. Sebab, kata dia, hal tersebut bersifat subjektif.
“Ini kan subjektif. Kalau misalkan hakimnya merasa, ‘Ah, ini mungkin kekecewaan dari mereka’ dan dia menganggapnya seperti biasa? Jadi tergantung subjektifnya,” ujar Alex saat dihubungi detikcom, Selasa (16/3).
Contempt of court adalah bentuk ketidakhormatan terhadap pengadilan dan aparatnya dalam bentuk perilaku. Menurut dia, tergantung perspektif masing-masing dalam menentukan tindakan Novel Bamukmin dapat disebut contempt of court atau tidak. Namun pihaknya akan tetap menindaklanjuti kejadian ini.
“Makanya nanti saya mau konfirmasi ke pimpinan, sama majelisnya juga. Apa sikap mereka,” ucap Alex.