oleh : Andi Naja FP Paraga
Sebagian orang mempercayai kebohongan sebagai kebenaran jika itu datang dari orang yang disukainya dan sebagian lainnya mendustakan kebenaran bahkan menilainya sebagai kebohongan jika itu datang dari orang yang dibencinya. Disinilah Emosi menzalimi logika. Tapi bukankah keadilan harus diterapkan kepada siapapun bahkan atas diri sendiri.
Sejak 14 Abad yang silam Allah Subhanu wa Ta’Ala Tuhan seluruh Makhluk termasuk manusia menghimbau kepada manusia beriman (beradab) untuk berlaku adil mengedepankan logika daripada emosi ketika menegakkan kebenaran dan menjadi saksi yang adil. Jangan sesekali kebencian terhadap suatu kaum mendorong seseorang untuk tidak berlaku adil. Tuhan menghimbau manusia untuk berlaku adil karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa. Tuhan pun meminta manusia bertaqwa kepadaNYA dan Ia Maha Mengetahui apa yang dikerjakan oleh makhluk-makhlukNYA. Kalimat diatas merupakan saripati terjemahan Ayat Suci Al Qur’an Surat Al Maiddah Ayat 8.
Emosi menzalimi logika telah menjadi praktek kehidupan dari zaman ke zaman. Ketika hubungan emosional menjadi penyebab seorang pemimpin mengambil keputusan yang tidak adil dari dua pihak yang tengah berselisih maka dapat dipastikan keputusan itu sangat berbahaya dan merobek rasa keadilan. Ketika seorang pemimpin memilih seorang wakilnya tidak didasari pada kemampuannya sementara tersedia orang lain yang layak menjadi wakilnya yang tidak memiliki hubungan emosional baik hubungan persaudaraan atau pertemanan maka dengan demikian ia telah mengambil keputusan menzalimi logika dengan emosi.
Dapat dikatakan para pemimpin kita adalah orang yang beriman sehingga ia semestinya terpanggil untuk menciptakan dan menegakkan keadilan walaupun terhadap dirinya sendiri maupun terhadap karib kerabatnya bahkan terhadap pecinta dan pengikutnya. Dapat dipastikan para petinggi negara baik eksekutif, legislatif, yudikatif adalah orang orang beriman. Demikian pula para pemimpin non pemerintahan baik pemimpin organisasi kemasyarakatan, pemimpin buruh/pekerja adalah orang orang beriman yang wajib menempatkan logika diatas emosi.
Karena para pemimpin saat ini adalah orang orang beriman maka sejatinya meniru bagaimana sikap orang – orang beriman yang telah menjadi suri tauladan manusia terutama Tokoh Suri Tauladan yang terkemuka sebagai Tokoh Agama. Pemimpin Muslim harusnya menauladani Nabi Muhammad dalam memimpin dirinya dan pengikutnya, pemimpin Nasrani semestinya menauladani Sosok Suci Isa Al Masih, Pemimpin Yahudi mestinya meauladani pemimpin bangsa yahudi paling agung dalam sejarah Musa dalam memimpin dirinya dan pengikutnya. Jadi setiap pemimpin yang beriman semestinya menauladani Figur Besar Tauladan umat dan bangsa untuk memimpin dirinya dan pengikutnya. Hal ini menjadi salah satu syarat yang telah terpola dalam dirinya ketika ia memimpin.
Hanya pemimpin yang “tidak menzalimi logika dengan emosi” yang akan mampu berlaku adil. Pemimpin seperti itu telah menjauhkan dirinya dari empat sifat yaitu ketergesa-gesaan, keras kepala, sombong dan kemalasan. Pemimpin yang menghindari ketergesa – gesaan didalam mengambil keputusan dapat dipastikan akan memberikan keputusan yang bisa diterima banyak pihak. Pemimpin yg bisa berlaku adil tidak mungkin terjadi pada pemimpin yang keras kepala , pemimpin seperti ini akam mengambil keputusan sesuai dengan keinginannya dan dipastikan tidak mau menerima pertimbangan, Nasehat dan saran oranh lain. Jika pun ia terlihat mau mendengar nasehat, saran dan pertimbangan orang lain itu dilakukan hanya untuk mencitrakan dirinya seseorang yang demokratis namun keputusan yang diterapkan tetap berdasarkan keinginannya.
Sifat pemimpin yang paling berbahaya adalah sifat sombong karena sifat ini merupakan sifat yang tersemat pada iblis. Pada awalnya iblis itu sosok jin yang sangat alim . Namun semua kealiman tak lantas beriringan dengan taqwa. Kealimannya tidak menjadikannya menjadi orang yg bertaqwa. Banyak orang berilmu justru tidak bertaqwa, Imunya justru melahirkan kesombongan. Pemimpin berilmu tapi tidak bertaqwa berpotensi menjadi sombong. Sejarah mencatat banyak pemimpin yang sombong hingga menentang Tuhan.
Berikutnya sifat buruk yang paling membahayakan jika dimiliki seorang pemimpin adalah sifat malas karena kemalasan tidak akan memberikan dampak positif kepada dirinya apalagi kepada pengikutnya. Pemimpin pemalas ketika mendengar berita ia langsung memberi reaksi tak perduli berita itu benar atau bohong. Sikap reaktif itu sebetulnya salah satu pemicunya adalah malas melakukan check and recheck terhadap suatu persoalan apalagi melakukan check and balance. Akibat dari kemalasan itu muncullah statemen yang berpotensi memunculkan huru hara yang ketika tak mampu diantisipasi justru akan merusak seluruh tatanan yang ada. Sikap malas seorang pemimpin akan memunculkan kemalasan kolektif terhadap pembantu – pembantunya dan sudah pasti pengikutnya tak terurus.
Pemilu 2019 jangan sampai membunuh logika warga negara sehingga salah memilih anggota legislatif dan presiden. Logika tidak boleh dikalahkan oleh emosi. Untuk itu kepada para pemimpin yang akan berkompetisi memperebutkan jabatan legislatif dan presiden hendaknya selalu menghadirkan dan mengedepankan akal sehat, menyodorkan program dan kritik. Silahkan menawarkan program program terbaik demi terciptanya perbaikan kehidupan bangsa. Berikan kritik yang bisa menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi pemerintah. Mencerdaskan pemilih harus menjadi tugas para pemimpin yang ada di negeri ini.