Minggu (21/3/2021) menjadi hari yang kelam bagi para buruh di Indonesia.   Mereka kehilangan sosok yang selama ini menjadi pelopor dan pahlawan pergerakan buruh, Muchtar Pakpahan. Meski raga telah tiada, nama Muchtar Pakpahan tetaplah abadi dan harum bagi mereka yang mengaguminya. Kepergian pendiri sekaligus Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) periode 1992-2003 ini meninggalkan kisah yang patut diteladani.

Sebagai remaja yang ditinggal kedua orangtuanya, Muchtar muda bahu-membahu dengan tiga kakak dan satu adiknya menghidupi keluarga mereka.  Saat berusia 11 tahun, ia sudah yatim lantaran ditinggal ayahnya, Sutan Djohan Pakpahan. Kemudian, saat usia 18 tahun, ibunya, Victoria Silalahi menyusul sang ayah ke surga.  Kelima yatim piatu itu pun harus berjuang untuk hidup. Saat itu, Muchtar memilih untuk menjadi tukang becak. Kadang-kadang, dia juga menjajakan koran atau roti. “Ya, pokoknya berganti-ganti. Yang mana sempatlah,” kata Pakpahan seperti dilansir dari pemberitaan Harian Kompas, Sabtu (18/9/1993) Bekerja mengayuh becak pun tak membuat Pakpahan rendah diri. Sebaliknya, dari becak itulah ia mengejar mimpinya menjadi seorang dokter.  Ia pun memilih berkuiah di Fakultas Kedokteran Universitas Methodis Medan. Kendati mengawali kuliah sebagai mahasiswa ilmu kedokteran, tetapi jalan hidup Pakpahan mengantarkannya menjadi advokat.

Dari Fakultas Kedokteran Universitas Methodis Medan, ia pindah ke Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Gelar Doktor Ilmu Hukum Tata Negara pun diraihnya saat hampir berusia 40 tahun. Meskipun menyandang gelar doktor, Muchtar tetap hidup sederhana. Kesederhanaannya saat kecil dibawanya hingga kehidupan berumah tangga. Ia tinggal di sebuah rumah sederhana di kawasan Kayu Putih Selatan, Jakarta Timur. Di sana, ia hidup bersama istri dan tiga anaknya, Binsar Jonathan Pakpahan, Johannes Dartha Pakpahan, dan Ruth Damaihati Pakpahan. Pada masa tersebut, tiga anak Muchtar Pakpahan masih usia sekolah. Ketiganya bersekolah di sekolah negeri.  Ketika ditanya alasan menyekolahkan tiga anaknya di sekolah negeri, pria kelahiran Bah Jambi II, Tanah Jawa, Simalungun, Sumatera Utara itu pun secara gamblang menjawab karena tidak punya uang.

“Nilai gaji kami berdua sebulan digabung hanya sekitar Rp 1,5 juta,” ucap Muchtar Pakpahan dikutip Harian Kompas, 18 September 1993.

Namun, perkara gaji tersebut bukan berarti Pakpahan lantas enggan berniat menyekolahkan tiga anaknya di sekolah swasta. Sempat terpikir olehnya akan menyekolahkan tiga anaknya di sekolah swasta. Namun, keiginan tersebut pupus sudah lantaran dia tetap dimintai biaya tinggi. “Dulu tahun 1987 kami mau masukkan ke sekolah swasta yang bermutu tinggi, tetapi meski sudah bilang saya cuma aktivis gereja berpenghasilan terbatas, tetap saja dimintai biaya Rp 450.000, ya saya mundurlah,” ucap dia. Gagal menyekolahkan tiga anaknya di sekolah swasta, Muchtar Pakpahan dan istri, Rosintan Marpaung tetap meluangkan waktunya guna mendidik langsung anak-anak.

Hal tersebut, kata dia, agar mutu pendidikan formal yang didapatkan anak-anaknya di sekolah bisa terus ditingkatkan. Salah satu hal yang diajarkan kepada tiga anaknya adalah pendidikan bahasa Inggris. Pria kelahiran 21 Desember 1953 ini bersama istrinya melakukan percakapan sehari-hari dengan anak-anak di rumah menggunakan bahasa Inggris. “Bukan karena tidak nasionalis, tetapi demi keluasan akses pendidikan dan karirnya kelak,” tutur Pakpahan. Jadi Ketum SBSI, gerakan pembela rakyat kecil Muchtar dikenal luas karena karena perjuangannya membela rakyat kecil. Masih dalam artikel Harian Kompas, 18 September 1993, ia menceritakan bagaimana saat itu mengorbankan diri untuk membela rakyat kecil selama menjadi Ketua Umum SBSI periode 1992-2003.

Adapun SBSI merupakan organisasi buruh di luar Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang tidak diakui pemerintah masa itu. Ketika ditanya apa alasan ia bersedia menjabat Ketua Umum SBSI, latar belakang pendirian organisasi pun dipakainya sebagai jawaban. “SBSI didirkan langsung oleh buruh, sehingga saya mau aktif di dalamnya. Tegasnya bukan lagi sekadar membantu, seperti charity, tapi bagaimana agar buruh mampu membela nasibnya sendiri,” papar dia.  Lantas, apa yang membuat Muchtar Pakpahan begitu menaruh konsentrasi hidupnya untuk membela rakyat kecil dan perburuhan melalui pendirian SBSI? Cerita dia, perspektif baru itu diperolehnya pada tahun 1984, saat DPP SPSI bersikap pasif membiarkan para aktivis buruh diinterogasi aparat keamanan. Padahal, kata Pakpahan, apa yang dibuat oleh aktivis buruh saat itu justru hanya mendirikan Pengurus Unit Kerja (PUK) SPSI di berbagai perusahaan. “Eksistensi SPSI, akhirnya saya lihat sekadar untuk security approach mengamankan buruh,” ujar Pakpahan yang tahun 1978 mendirikan PUK FBSI PT Korek Api Dili, Sumatera Utara. Baca juga: Muchtar Pakpahan Meninggal Dunia, KSPI: Buruh Indonesia Sangat Berduka Dari situlah, semangat dan kerja keras Pakpahan untuk mati-matian membantu SBSI muncul. Bahkan, membela kaum kecil demi menegakkan keadilan akan tetap diteruskannya. “Ya, tapi sekarang kan sudah lain. Tidak seperti tahun 70-an dan 80-an, sikap ABRI tahun 90-an kan sudah penuh keterbukaan demi demokratisasi,” ucap dia. Melihat situasi perkembangan kala itu membuat Pakpahan meyakini bahwa perjuangan bangsa Indonesia demi menegakkan keadilan dan demokrasi sudah berada di jalurnya. Soal pentingnya demokrasi dan kebebasan berpendapat juga ditekankannya kala itu. Ia mengingatkan agar situasi Indonesia jangan sampai seperti 10 tahun sebelumnya, atau tepatnya sekitar tahun 1980-an. Ia bercerita, pada tahun 1980-an, ia sempat bertengkar dengan Manggala dari instansi tertentu. Alasan pertengkaran itu, kata dia, hanya karena persoalan sepele, yakni saat muncul sebuah pertanyaan tentang apakah Indonesia sudah negara Pancasilais atau belum. “Saya memilih berhenti jadi Manggala BP7 daripada bertengkar terus dengan manggala dari instansi tertentu saat menatar. Padahal soal sepele, tentang Indonesia sudah negara Pancasilais atau belum,” kata dia.  “Saya bilang belum, baru usaha. Dia bilang sudah, sebab berasas sama semua. Kan repot, jika tanpa keterbukaan,” ucap Pakpahan yang saat itu menjadi dosen di Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Universitas Tujuhbelas Agustus 1945 (Untag) Jakarta.

Awal berpolitik di GMKI Berorganisasi, bisa diartikan sebagai hobi bagi Muchtar Pakpahan. Hobi itu pula yang sudah terlihat sejak dia aktif di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) saat masih berstatus mahasiswa. Berawal dari organisasi GMKI itulah, karier politik Muchtar Pakpahan dimulai. Pakpahan sempat mendirikan Partai Buruh Sosial Demokrat pada 2003, setelah mengakhiri kebersamaan dengan SBSI. Ia mengakui, menjadi aktivis organisasi kemahasiswaan sudah barang tentu akan mengalami suka dan duka tersendiri.

Tak bercerita soal sukanya, sebaliknya, Pakpahan justru bercerita soal duka di kehidupan berorganisasi. Ia mengaku, saat masuk GMKI, secara bersamaan ada temannya yang masuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Persahabatan kedua sahabat itu pun kemudian sedikit renggang usai masuk ke organisasi kemahasiswaan berlatarkan agama. “Dukanya begitu masuk GMKI di USU (Universitas Sumatera Utara) dulu dan ada teman saya yang masuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), persahabatan kami kok jadi renggang. Padahal dulu akrab,” tutur dia.  Rupanya, renggangnya persahabatan antara Pakpahan dan temannya itu lantaran ada senior GMKI yang memompa kecurigaan. “Hati-hati, HMI mau meng-Islam-kan Indonesia. Mungkin sebaliknya juga begitu di HMI. Padahal di kota kelahiran saya Pematang Siantar yang berbasis Kristen, kenalan kami banyak yang Islam,” ujar dia.  Berpegang pengalaman di kota kelahirannya, Pakpahan justru tak menemui kendala hidup bermasyarakat karena perbedaan agama. Ia yang beragama Kristen justru akrab berkawan dengan umat Islam yang berasal dari Jawa, Sunda dan Melayu di Pematang Siantar. “Saya dulu bahkan kerap ke masjid. Jelasnya, di masyarakat sederhana malah tak ada itu masalah antar umat agama,” ucap Pakpahan. Lebih jauh, pendiri Partai Buruh Sosial Demokrat ini sebenarnya lebih ingin aktif pada organisasi yang bersifat nasional, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Namun, kata dia, GMNI baru muncul secara resmi di USU pada 1979-an, setelah hilang sejak 1966-an. “Tapi saya bantu GMNI juga, dengan mendukung kader GMKI Henky Waou yang mau keluar mendirikan GMNI di USU tahun 1979,” ucap Pakpahan.

Rasanya, mengawali karier di GMKI juga menjadi kebahagiaan bagi Pakpahan sendiri dalam kehidupannya. Hal tersebut tercermin mana kala Pakpahan mengaku menemukan jodohnya karena aktivitasnya di GMKI. Istri tercinta, Rosintan Marpaung, pertama kali dikenal Pakpahan di konferensi cabang GMKI Medan. Namun, menariknya, sosok Rosintan Marpaung dikenal Pakpahan dalam konferensi tersebut sebagai pesaing, bukan pendukung. “Saya ditugasi melobi dia, agar Komisariat IKIP Medan yang dipimpinnya mau menyeberang ke kubu saya. Tapi dia rupanya keras. Bukannya berhasil, malah lama-lama saya yang jadi jatuh cinta, hahaha,” ujar Pakpahan sembari tertawa mengenang momen tersebut.

SUMBER : KOMPAS.COM

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here