Jacob Ereste.(rtz)

MASALAH kaum buruh di Indonesia memang masih berkisar diseputar sosio-ekonomi, belum cukup tangguh masuk wilayah politik dan budaya.

Itu sebabnya semasa perlawanan buruh dipenghujung kekuasaan Orde Baru dulu (1994-1996) uji coba pengembangan model ragam dan bentuk serta cara memompa budaya perlawanan kaum buruh terhadap rezim penguasa dilakukan Teater Pabrik dari SBSI dengan upaya dan semangat melakukan gerakan penyadaran dan peran serta warga masyarakat untuk ikut melakukan penguatan organisasi melaui kesenian.

Kelompok teater kaum buruh yang diberi nama Teater Pabrik yang diasuh langsung oleh aktivis buruh dari SBSI sangat menyadari perlunya perluasan jaringan dan aktivis yang cukup efektif untuk penguatan organisasi buruh yang memerlukan sebanyak mungkin dukungan dari beragan sigmen masyarakat yang seluas-luasnya untuk menghadapi beragam model dan cara rezim penguasa menghadang apa yang diusung kaum buruh sebagai muatan dari perjuangan yang diinginkan.

Setidaknya, hasil pementasan drama berjudul “Marsinah” yang diadopsi dari naskah puisi saya (Jacob Ereste) telah memenangkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, akibat dari pementasan di Gelanggang Remaja Bulungan ketika itu dihambat oleh Kepolisian setempat dengan menggembok gedung pementasan yang yang telah memperoleh ijin resmi dari instansi yang berwenang. Dengan begitu, sikap semena-mena aparat penegak hukum yang refresip dan otoriter dapat dibuat keok lewat pengadilan.

Contoh membangun kesadaran kaum buruh untuk berorganisasi dan ikut menjadi bagian dari kekuatan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan rezim yang zalim, toh lumayan efektif dan berhasil memperoleh kemenangan yang juga dapat dinikmati oleh kaum seniman, utamanya untuk ijin pementasan sejak keputusan PN Jakarta Selatan tidak lagi perlu melalui pintu sejumlah instansi yang tidak jelas juntrungannya, kecuali hanya untuk mempersulit pementasan belaka.

BACA JUGA: http://sbsinews.com/nawacita-pemerintah-dan-jeritan-para-korban-km-sinar-bangun/

Jadi jelas kesadaran buruh dan aktivis buruh sesungguhnya telah dilakukan dengan sangat genial sejak Orde Baru masih merajalela dan ganas. Hanta saja kemudian energi yang diperlakan untuk itu semua pada masa sekarang setelah reformasi 1998 tidak mampu dipertahankan apalagi kemudian hendak dikembangkan lantaran beragam tantangan dan tuntutan tidak bisa konsisten dilakukan.

Intinya, untuk membangun posisi bargaining buruh yang kuat, lalu organisasi buruh yang juga sehat, tidak bisa tidak harus membangunkan kesadaran kaum buruh yang sesadar-sadarnya mau dan ingin berorganisasi dengan suka rela, bukan karena sedang terancam oleh pihak pengusaha yang memang sudah begutu tabiatnya dari sana.

Bayangkanlah, tradisi buruh maupun pengusaha di Indonesia sesunguhnya masih sangat baru, setidaknya sejak industrialisasi dipaksakan oleh rezim Orde Baru ketika berkuasa. Sebelumnya, tradisi yang akrab dalam masyarakat kita adalah agraris dan maritim. Jadi warga bangsa Indonesia tengah mengalami sembelit kebudayaan.

Itulah sebabnya di kota-kota besar di Indonesia kita masih sering menemukan kejanggalan dan keanehan, yaitu manusia di kota berprilaku kampungan. Karena tradisi yang dibawa dari berbagai plosok asalnya, ya begitu. Belum pula menyadari bahwa budaya manusia di kota, tidak lagi boleh membawa adat kebiasaan di kampung halaman. Misalnya masih getol berternak ayam di rumah petak.

Karenanya, membangun kesadara kaum buruh untuk berorganisasi agar dapat memiliki posisi bargaining yang mampu mengimbangi keserakahan pengusaha maupun keculasan penguasa, bisa dilakukan secara bertahap dan simultan, tanpa rasa lelah dan pantang menyerah. Karena kaum buruh dan serikat buruh tidak boleh berharap belas kasihan dari pengusaha maupun penguasa. Sebab masing-masing pihak tetap mengutamakan kepentingannya sendiri.

Ditulis Oleh: Jacob Ereste
(Pembina Utama Komunitas Buruh Indonesis & Wakil Ketua F.BKN SBSI Bidang Diklat)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here