Kemeriahan dan semangat memperingati hari kemerdekaan R.I yang 73 tahun terlihat dimana-mana dan merata diseluruh pelosok tanah air. Perayaan hari kemerdekaan turu dirayakan buruh dilingkungan perusahaan dengan upacara dan acara hiburan. Sekilas melihat kemeriahaan buruh yang turut serta merayakan hari kemerdekaan yang ke 73 tahun ini seakan-akan tidak ada lagi beban buruh setelah perayaan tersebut.

Usia kemerdekaan Indonesia bila dikaitkan dengan usia manusia bisa dikatakan sudah jauh diatas matang yang artinya tidak lagi sulit untuk mencari kehidupan. Namun faktanya sampai hari ini kehidupan buruh masih sangat jauh dari kata nyaman, apalagi “SEJAHTERA”.

Banyak aturan hukum yang dibuat Negara yang berkaitan dengan perburuhan seolah-olah pro buruh namun bila kita pelajari dan bandingkan dengan praktek dilapangan semua aturan tersebut hanya seperti pil penenang.

Mengukur kehidupan buruh sampai 73 Tahun Indonesia merdeka dapat dilihat dari penerimaan upah dan perlindungan bagi keluarga buruh itu sendiri.

Masih banyak perusahaan yang memberikan upah kepada buruhnya jauh dibawah Minimum (UMP & UMK), dan ketika kekurangan upeh ini dilaporkan ke Disnaker penetapan atau nota atas kekurangan itu masih dibisa dilakukan banding oleh pihak perusahaan sehingga kepastian hukum atas kekurangan upah tersebut masih akan lama untuk diperoleh.

Adanya PP.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, khususnya Pasal 63 yang mengatur tentang kewajiban pengusaha untuk membuat skala upah. Pada awalnya Pasal tersebut memberi penyemangat baru bagi buruh yaitu akan adanya perbedaan penerimaan upah antara buruh yang bekerja nol tahun dengan yang bekerja diatas satu tahun. Namun kembali buruh kecewa karena pelaksanaan pasal serta sangsi kepada pengusaha yang tidak melaksanakan aturan tentang skala upah hanya sangsi adminitrasi yang proses sangsi itu juga tidak terbuka disampaikan kepada buruh.

Dalam perlindungan kesehatan juga muncul kata-kata wajib diberikan bagi buruh, namun ketika perlindungan itu tidak diberikan pengusaha, proaktf dari pemerintah tidak ada kecuali buruh atau Serikat Buruh melaporkannya, artinya pengawas di bidang ketenagakerjaan tidak bekerja secara serius.

Di usia ke 73 thn kemerdekaan Indonesia kehidupan buruh Indonesia khususnya buruh diperkebunan masih jauh dibawah hidup “pas-pasan”. Dalam lingkungan perkebunan terselubung system kerja paksa dan masih banyak kebun yang mempekerjakan anak dibawah umur. Kerja paksa yang ditemukan adalah untuk memenuhi target kerja maka seorang ayah harus dibantu istri dan anak-anaknya mengutip brondolan sawit. Upah istri dan anak-anak ini tidak pernah dibayar/diperhitungkan oleh pengusaha dengan alasan “mereka bekerja krn diajak ayahnya”, sementara bila pekerjaan itu tidak melibatkan keluarga maka target upah tdk akan tercapai dan gaji pokok juga akan dipotong.

Untuk memperoleh kepastian hukum atas hak buruh yang sampai berproses ke penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) bagi buruh itu juga masih mimpi, Dalam pasal 57 UU, 21 Tahun 2000 Tentang PPHI masih memberi peluang aturan hukum itu tunduk pada aturan hukum acara perdata. Kesulitan buruh akibat pasal ini adalah saat pengajuan eksekusi yaitu ketika pengusaha menolak untuk membayarkan hak-hak buruh, maka buruh harus mengajukan barang milik perusahaan yang dapat dilelang oleh Negara. Sehingga banyak putusan final dari pengadilan hanya menang diatas kertas. Termasuk dalam proses beracara tentang pengajuan bukti surat tertulis dari buruh.

(Sardo M. Manullang)

berdasarkan pengamatan dan pengalaman dalam penanganan kasus-kasus buruh di Riau.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here