Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) diminta bekerja sama dengan pemerintah daerah agar melakukan pengawasan ketenagakerjaan di perkebunan kelapa sawit. Sebab, banyak pekerja di perkebunan kelapa sawit yang hak-haknya diabaikan pengusaha kelapa sawit.

Demikian dikatakan Sekretaris Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi), Timboel Siregar, kepada Beritasatu.com, Jumat (18/6/2021).

Timboel mengatakan seperti itu sebagai respons pertemuan via oline Pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dengan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, Senin (14/6/2021). Dalam pertemuan itu, Ida Fauziyah mengajak pengusaha kelapa sawit untuk mewujudkan hubungan industrial yang kondusif pada sektor perkebunan kelapa sawit.

Menurut Timboel, Kemnaker seharusnya melakukan sosialisasi dan edukasi kepada pekerja perkebunan dan sekaligus melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang baik.

Faktanya, kata dia, banyak pekerja di sektor perkebunan yang tidak memahami tentang hubungan industrial dan sarana hubungan industrial sehingga hak-hak para pekerja tersebut terabaikan.

Dengan fakta ini, kata dia, justru seharusnya pemerintah yang proaktif dengan memaksimalkan fungsi mediator dan pengawas Ketenagakerjaan. “Banyak hak-hak normatif pekerja di sektor perkebunan sawit, khususnya untuk pekerja harian lepas (PHL) yang diabaikan oleh pengusaha kelapa sawit,” kata dia.

Timboel menegaskan, peran Kemnaker dan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) di Kabupatan dan Provinsi sangat lemah untuk memastikan hak-hak normatif dapat dinikmati para PHL. “Lokasi perkebunan yang sangat jauh dari kota dan rendahnya pengawasan dan penegakkan hukum menyebabkan para PHL menjadi pekerja dalam kategori berada di lingkungan pekerjaan rentan,” kata dia.

Pekerjaan rentan atau biasa disebut dengan precarious work, dalam pengertian yang paling umum, adalah sebuah kondisi kerja tanpa standar dimana pekerja/buruh memiliki upah rendah, tidak aman, tidak ada kestabilan kelangsungan pekerjaan, tanpa perlindungan, dan tidak dapat menghidupi rumah tangga.

Menurut Timboel, pekerja rentan umumnya ditentukan oleh beberapa hal di antaranya adalah, pertama, ketidakpastian mengenai status dan masa kerja.

Kedua, kemungkinan banyaknya pemberi kerja (majikan) atau majikan yang disamarkan atau hubungan kerja ambigu yakni pekerja yang dipekerjakan oleh agen atau sub-kontraktor, sehingga membuat pekerja berada dalam situasi yang sulit ketika tidak ada kejelasan mengenai siapa pihak yang harus bertanggung jawab dan harus mempertanggungjawabkan hak dan manfaat pekerja.

Ketiga, hak-hak pekerja yang tidak memadai atau bahkan tidak ada. Keempat, kurangnya akses terhadap jaminan sosial dan manfaat biasanya berhubungan dengan pekerjaan. Kelima, upah rendah dan keenam, hambatan praktikal untuk bergabung dengan serikat pekerja dan membuat perjanjian kerja bersama.

Menurut Timboel, sebenarnya ketentuan tentang hubungan kerja PHL sudah diatur di Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Trasmigrasi (Kepmenakertrans) Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT).

Mengacu pada Bab V Pasal 10 pada ayat (1) dinyatakan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian lepas.

Sementara ayat (2)-nya mengatakan perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan.

Dan ayat (3) nya menegaskan bahwa dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi pekerja waktu tidak tentu (PKWTT) atau pekerja tetap.

Para PHL umumnya bertahun-tahun bekerja dengan status hubungan kerja harian, walaupun syarat yang dinyatakan dalam Kepmenakertrans) Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 sudah dilanggar. Jenis pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan tetap yang selalu ada di perkebunan namun tidak berkelanjutan, tergantung pada musimnya.

Walaupun begitu ada juga pekerjaan yang berkelanjutan setiap hari namun pekerjanya berstatus PHL. Ada pun jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja harian lepas adalah memetik, perawatan, pemupukan, penyemportan insektisida, pembrondol, dan lain-lain.

Hubungan kerja para PHL tersebut juga kerap kali diserahkan ke perusahaan alih daya sehingga hubungan kerja semakin tidak pasti dan ini pintu masuk lebih banyaknya pelanggaran hak-hak normatif PHL.

Demikian juga dengan hak atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan jaminan sosial. Dalam melaksanakan pekerjaannya di kebun, PHL tidak dilindungi oleh alat pelindung diri yang memadai.

Lalu masih banyak PHL yang tidak didaftarkan kelima program jaminan sosial yaitu program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP).

Berdasarkan data di tahun 2019 dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJamsostek) dari seluruh pekerja di sektor perkebunan, jumlah pekerja yang mengikuti dua program BPJamsostek yaitu JKK dan JKm sebanyak 1.383.099 orang, yang mengikuti tiga program (JKK, JKm dan JHT) sebanyak 303.061 orang, dan yang ikut 4 program (JKK,JKm, JHT, dan JP) sebanyak 289.968 orang.

Dari data ini tersebut bila dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja di perkebunan kelapa sawit yang telah disebutkan Menaker Ida Fauziyah yaitu sebanyak 4.425.647 pekerja, maka yang dapat 2 program hanya 31,25 persen, yang dapat tiga program hanya 6,84 persen, dan yang dapat 4 program sebanyak 6,55 persen.

Menurut Timboel, untuk kepesertaan di JKN, banyak PHL yang didaftarkan ke program JKN sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya dibayarkan pemerintah, dan pekerja mandiri yang iurannya dibayar oleh PHL sendiri.

Seharusnya status kepesertaan PHL di JKN adalah pekerja penerima upah (PPU) badan usaha swasta. “Ini pelanggaran terhadap Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan,” kata dia.

Timboel mengatakan, tentunya data di atas menggambarkan bahwa masih sangat sedikit pekerja perkebunan sawit yang dilindungi jaminan sosial ketenagakerjaan secara utuh, dan pekerja yang sudah didaftarkan tersebut cenderung adalah pekerja di kantor perkebunan, sementara PHL di lokasi perkebunan sedikit yang didaftarkan, apalagi didaftrakan untuk 4 program.

Mengingat kondisi kerja PHL tersebut maka seharusnya Menaker Ida Fauziyah secara proaktif memerintahkan mediator dan pengawas ketenagakerjaan melakukan edukasi dan pengawasan serta penegakkan hukum sehingga PHL memperoleh hak-hak normatifnya.

“Dan peran mediator dan pengawasan ketenagakerjaan yang baik akan mendukung secara signifikan membaiknya hubungan industrial di sektor perkebunan,” kata dia.

Merujuk pada data Kementerian Pertanian (2019), jumlah petani yang terlibat di perkebunan kelapa sawit sebanyak 2.673.810 orang dan jumlah tenaga kerja yang bekerja di perkebunan kelapa sawit sebanyak 4.425.647 pekerja.

Menurut Ida Fauziyah, banyaknya pekerja yang ada dalam industri ini perlu mendapat perhatian dari Gapki agar hubungan industrial terjaga dengan baik, mengingat Hubungan industrial yang harmonis itu sangat penting.

Menaker Ida Fauziyah meminta Gapki untuk melakukan beberapa hal yaitu, pertama, peningkatan pemahaman hak-hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam hubungan kerja, seperti melalui sosialisasi dan workshop.

Kedua, peningkatan komunikasi antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan antara Dinas yang membidangi ketenagakerjaan dengan pengusaha maupun pekerja/buruh.

Ketiga, peningkatan peran dan fungsi Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit di perusahaan. Keempat, peningkatan kualitas sumber daya manusia pada sektor perkebunan.

Kelima, Pemerintah melalui Dinas Ketenagakerjaan kabupaten/kota, provinsi dan pusat memfasilitasi dan melayani pekerja/buruh, pengusaha dalam rangka kejelasan hubungan kerja dan konsultasi untuk peningkatan syarat kerja.

Keenam, peningkatan kualitas syarat-syarat kerja serta Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Dan Ketujuh, peningkatan kepesertaan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan dan jaminan sosial kesehatan.

SUMBER : BERITASATU.COM

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here