Oleh: Dr. Haidar Bagir
(Pendiri Compassionate Action Indonesia, Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di ICAS-Paramadina)
”A being unto death”. Demikian Martin Heidegger dalam satu cara mendefinisikan manusia. Ya, begitu lahir, kapan pun manusia bisa mati. Maka, tugas manusia adalah mencari jawaban atas ”absurditas” ini, mencari makna dalam kehidupan yang diteror oleh kematian setiap saat.
Namun, mati tidak mesti teror. Justru kesadaran tentang keterbatasan hidup manusia ini bisa menjadikan hidup sangat berharga. Setiap detiknya. Bagaimana caranya?
Seperti pernah disampaikan dengan mengutip filsuf yang sama oleh Jalaluddin Rakhmat, akrab dipanggil dengan sebutan Kang Jalal, dalam salah satu episode dari seri videonya yang bertajuk Democracy Project, mari kita sambut dan rencanakan kematian kita.
Jangan biarkan dia menyergap kita secara tidak semena-mena. Sang Nabi pun mengajarkan ”matilah sebelum kamu mati”. Matilah secara sukarela (ikhtiyari). Agar, dengan demikian, mati justru bisa menjadi sumber makna hidup itu sendiri. Lagi pula, bagi orang beriman, kematian bukanlah terminal terakhir kehidupan kita, bukan titik di mana kita lantas sirna, tanpa bekas.
Orang beriman percaya ada perhitungan, ada ganjaran hukuman dan imbalan kebahagiaan abadi, yang pasti kita jumpai setelah kematian: ”(Dialah) Tuhan yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji siapa di antara kalian yang paling sempurna/indah amal-amalnya” (QS Al-Mulk [67]:2).
Maka, penting menjalani hidup dengan baik, yang dipenuhi amal-amal yang sempurna. Sebagai hasilnya, dari mata air intelektualitas dan kerohanian Kang Jalal, lahirlah karya yang berjudul Memaknai Kematian.
Mungkin juga, dengan bertambahnya usia, Kang Jalal semakin intens merasakan ”intaian” kematian. Maka, inilah renungan Kang Jalal ketika usianya mencapai 65 tahun, delapan tahun yang lalu.
”Masa telah meninggalkan jejak-jejaknya dalam uban di kepala, dalam rabun di mata, dalam keriput di kulit, dalam keringkihan di seluruh tubuh. Betapa inginnya sang waktu memberikan kepadaku kearifan dalam akalku, kebersihan dalam hatiku, kesucian dalam rohaniku, dan kezuhudan dalam hidupku. Namun, dalam usia senjaku, aku temukan butir-butir air mata penyesalan karena menghabiskan banyak masa dalam mengejar ambisi pribadi. Aku dapatkan jeritan hati kesedihan karena malaikat lebih banyak menuliskan keburukanku daripada kebaikanku…”.
”I’m running out of time now. Lihat jam pasirku menyisakan tinggal sejumput butir pasir di bagian atasnya.”
Renungan mendalam sangat sufistik seperti ini memang sama sekali tidak aneh jika keluar dari Kang Jalal.
Intelektual beriman
Sejak 40 tahunan lalu ketika mulai mengenalnya, saat Kang Jalal masih di usia awal-awal 30 tahunan, saya sudah mendapati karya-karya Martin Buber dan para pemikir eksistensialis lain di rak buku di rumahnya. Saya yakin Kang Jalal sudah membaca Heidegger pada masa itu.
Kenapa tidak, bahkan ketika masih menjadi guru muda SMP Muhammadiyah, konon beliau sudah membaca karya-karya Baruch Spinoza. Kita tahu bahwa Spinoza adalah seorang pemikir panteistik Barat terkemuka (dan bukan tak mungkin pemikirannya ikut menggiring ketertarikan masa kematangan Kang Jalal kepada faham ”kesatuan wujud” dalam tasawuf).
Kenyataannya, tidak sedikit karya-karya tasawuf ditulisnya, belum termasuk berbagai bahan ceramah tentang tema sama yang bertebaran di mana-mana, ada Reformasi Sufistik, Renungan-renungan Sufistik, Madrasah Ruhaniah, Road to Allah, Road to the Rasulullah, dan lain-lain.
Yang pasti, Kang Jalal adalah potret intelektual beriman, yang memilih untuk memberi makna sebanyak-banyaknya pada hidup yang dibatasi (baca: dimaknai) kematian ini. Hidup untuk membela orang-orang lemah dan berkekurangan, orang-orang yang diperlemah (the oppressed/mustadh’afin).
Apakah ini yang menyebabkan Kang Jalal tertarik pada Frantz Fanon dan Ali Syariati sebagai counterpart Islamnya? Atau, sebaliknya, bacaannya akan Ali Syariati dan Frantz Fanon yang menyebabkan hati Kang Jalal terbetot pada perjuangan membela kaum tertindas di bumi (the wretched of the earth) ini?
Terbukti, di antara banyak pemikiran manusia genius bernama Jalaluddin Rakhmat ini, spiritualitas—dalam bentuk tasawuf, sebagai mazhab cinta dalam Islam—serta pemihakan kepada kaum duafa dan mustadh’afin terasa kental mewarnai pemikiran tersebut.
Spiritualitas, bagi Kang Jalal, bukanlah semata pelipur bagi kehampaan spiritual manusia modern—sebagaimana dielaborasinya, secara langsung atau tidak, di dalam sedikitnya dua buku tentang kebahagiaan, yakni Mencari Kebahagiaan dan Tafsir Kebahagiaan—melainkan juga sumber api cinta kepada sesama makhluk Tuhan.
Maka, bersama dengan kajian-kajian sufistik yang meluncur deras dari sumur spiritual Kang Jalal, beliau terjun langsung di dalam aksi-aksi advokasi dan pemberdayaan duafa. Saya tahu betapa kang Jalal, dibantu para muridnya, mengurusi keluarga-keluarga miskin yang tinggal di pinggir-pinggir rel kereta api di Bandung. Lalu, bersama dengan pendirian SMA Plus Muthahhari yang merupakan buah kepeduliannya terhadap perbaikan kualitas pendidikan di negeri ini, dia pun mendirikan sekolah gratis di Cicalengka.
Itu semua belum termasuk berbagai perilaku welas asih personalnya terhadap siapa saja yang datang kepadanya.
Pluralis interagama
Kang Jalal, di mata orang yang tak paham, bisa tampak sebagai tokoh sektarian karena keterikatannya pada mazhab Syiah yang dipeluknya belakangan, padahal sesungguhnya dia seorang pluralis. Pluralis interagama Islam, ataupun antaragama. Dia menulis buku Islam dan Pluralisme.
Pada saat yang sama, Kang Jalal juga adalah seorang pejuang hak-hak minoritas. Bukan cuma minoritas Syiah, yang memang merupakan denominasi aliran keislaman yang dipilihnya, Kang Jalal adalah pembela Ahmadiyah, bahkan hak-hak asasi manusia para warga lesbian, gay, biseksual, transgender, queer (LGBTQ).
Sebagai seorang yang pengetahuan agamanya amat luas—Kang Jalal adalah seorang penulis dan pemikir prolifik—tentu dia bukan tidak tahu tentang hukum hadd (pidana) syariah atas praktik-praktik seksual sesama jenis.
Namun, bagi pembaca yang teliti, amat mudah memahami bahwa beliau tidak sedang berbicara mengenai soal ini, tetapi tentang keharusan menjamin terselenggaranya hak-hak asasi mereka sebagai manusia dan warga negara.
Memang, terkadang, ke-”lurus”-an, keterusterangan, dan ketajaman pilihan diksinya dalam ceramah-ceramah dan tulisan-tulisannya berpotensi menimbulkan salah paham.
Bukan hanya dalam soal pembelaannya terhadap komunitas LGBTQ, melainkan juga dalam hal-hal lain yang melibatkan kritik terhadap pandangan ”normal” kelompok-kelompok arus utama (mainstream) mayoritas di berbagai lapangan kehidupan.
Malah, sampai batas tertentu, Kang Jalal adalah orang yang polos. Kalau tidak, tidak akan dia, yang pernah berakar di organisasi (Persatuan Islam/Persis) yang puritanistik, belakangan seperti berhijrah ke Muhammadiyah yang modernistik, dan ujungnya berlabuh kepada mazhab Syiah yang amat esoteristik dan tidak ortodoks.
Lebih-lebih lagi, persoalan-persoalan yang beliau bahas lebih sering amat sophisticated (canggih) dan sulit dipahami kebanyakan orang. Potensi kesalahpahaman pun menjadi makin besar.
Maka, ketimbang menyesali kejujuran dan kepolosan almarhum, saya malah jadi ingat kepada salah satu potongan puisi Muhammad Iqbal menjelang kematiannya:
Telingaku bukanlah untuk zaman ini
’Ku tak butuh telinga masa ini
Akulah suara penyair esok hari
Zamanku tak paham kedalaman makna-maknaku
Yusufku bukanlah buat pasar ini…
Ya, memang barangkali Kang Jalal bukan sepenuhnya untuk telinga zaman kita. Apalagi inilah zaman di mana populisme menggeretak, hoaks dan post truth mencengkeram, pun mesin algoritma media-media sosial menjerebak.
Dibutuhkan tak kurang dari hati terbuka dan penuh permakluman, dan akal jernih dan canggih, untuk bisa mengambil manfaat maksimum bebas kemurkaan dari kembara pemikiran keislaman Kang Jalal.
Akhirnya, dengan penuh takzim kita ucapkan: Selamat Jalan, Kang Jalal. Selamat menikmati keheningan dan kebeningan tanpa kegaduhan, bercengkerama dengan Kekasih yang permaafannya seluas bumi dan langit. Doakan, dari atas sana, agar kami bisa merawat dan menyemaikan peninggalan-peninggalan kembara pemikiran, ajaran cinta, dan aksi-aksimu membela kaum lemah dan minoritas yang tertindas demi semua warga negeri ini.
Semoga Tuhan menolong kita semua.(ANFPP180221)