SBSINews – Keterlibatan masalah kebudayaan dalam hubungan internasional, sering kali diingat sebatas performa kesenian seperti kegiatan lawatan kesenian atau pekan kesenian ke negara-negara asing.
Jika ditilik lebih jauh, kita akan menemukan bahwa sebenarnya relasi kebudayaan dalam hubungan internasional dapat lebih daripada itu.
Dapat dikatakan bahwa, masalah hubungan internasional sebagian besar merupakan masalah kebudayaan. Seperti halnya kita berinteraksi dengan sesama manusia, Untuk berinteraksi dengan negara lain kita memerlukan pemahaman kebudayaan sehingga proses persahabatan atau kerjasama dapat berlangsung mulus.
Dengan demikian, mengerti, mengetahui kebiasaan, adat istiadat, pantangan, tabu, kesukaan, tatacara dari penduduk suatu negara, diharapkan akan meminimalkan ketersinggungan yang mungkin muncul dalam berkomunikasi.
Maka, pemahaman kebudayaan menjadi sangat penting dalam pergaulan hubungan internasional.
Pemahaman kebudayaan ini sendiri sebetulnya dapat terlihat dalam kebiasaan-kebiasaan protokoler atau tatacara-tatacara yang diatur dalam pertemuan-pertemuan, misalnya: bahasa-bahasa protokoler negosiasi, dimana tatacara menghormati, memberi salam, mengutarakan pendapat, bertanya, mengajukan usul diatur dan dipandu sedemikian rupa.
Pemahaman kebudayaan tentu saja diperlukan untuk mensukseskan perundingan-perundingan atau kerjasama-kerjasama.
Relasi kebudayaan dan hubungan internasional lainnya dapat diutarakan dalam kerangka Diplomasi Kebudayaan. Dalam hal ini, diplomasi sebagai salah satu kajian hubungan internasional, bukan hanya diartikan sebagai perundingan (negosiasi) saja, melainkan juga cara mengelola hubungan antar bangsa baik dalam keadaan damai maupun (terutama) dalam situasi perang.
Oleh karena itu, diplomasi kebudayaan dapat dibentangkan dari hal-hal yang bersifat mikro dimana kebudayaan dapat dianggap sebagai hal-hal yang berbau kesenian, namun juga sampai dengan kajian yang bersifat makro yang menganggap pengelolaan hubungan antar bangsa dipastikan melibatkan aspek kebudayaan dalam arti luas.
Penggunaan diplomasi kebudayaan yang termasyhur oleh Amerika Serikat dilakukan di masa pemerintahan Richard M Nixon tatkala merintis pembukaan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang telah puluhan tahun tidak dibuka ketika RRT berada dibawah pemerintahan Mao Zedong.
Amerika Serikat mengirimkan salah satu tim olahraga pingpong, yang kemudian terkenal dengan Diplomasi Pingpong.
Lebih jauh, relasi kebuayaan dan Hubungan Internasional dapat dipahami pula melalui konsep Soft Power oleh Joseph Nye. “Soft power is the ability to get what you want through attraction rather than coercion or payments. It arises from the attractiveness of a country’s culture, political ideals, and policies. When our policies are seen as legitimate in the eyes of others, our soft power is enhanced.” Maka, unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki suatu negara yang dikemas sedemikian rupa, dieksploitasi, kemudian dapat digunakan sebagai sarana untuk menarik perhatian negara lain, dengan demikian mengundang kerjasama dan akhirnya melangsungkan kepentingan masing-masing negara yang bersangkutan.
Pada akhirnya, ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan bahwa penerapan diplomasi kebudayaan yang sesungguhnya dapat dilakukan oleh siapa saja (bagi Indonesia ini dimungkinkan dengan apa yang dikenal sebagai multitrack diplomacy), haruslah integral dan bersinergi dengan kebijakan politik luar negeri dan program-program lainnya yang dikoordinasikan oleh Departemen Luar Negeri.
Keberhasilan diplomasi kebudayaan tentu saja ditentukan pula oleh faktor-faktor kekuatan ekonomi, kewibawaan politik dan kekuatan militer serta konsistensi pelaksanaannya, karena sesungguhnya sasaran diplomasi kebudayaan adalah pembentukan opini.
Maka diplomasi kebudayaan seringkali akan sangat efektif dan relevan dilaksanakan oleh negara-negara maju yang mempunyai kekuatan untuk menunjang diplomasinya. (Hillary)
Wahyuni Kartikasari, S.IP, S.T. M.Si.
Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Mengajar mata kuliah Kewirausahaan dan Diplomasi Kebudayaan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Tulisan ini telah dimuat pada Diplomacy Magazine Edisi #1 , 2009.