Jacob Ereste (aktivis dan pemerhati masalah buruh di Indonesia daj juga Ketua Dewan Pembina Komunitas Buruh Indonesia. Ketua Balitbang F.BKN-SBSI)

KEBERSAMAAN dan solidaritas menjadi ruh organisasi buruh, karenanya apa pun yang menjauh dari arti dan hakikat kebersamaan itu artinya anti serikat buruh. Oleh karena itu, semua bentuk dan gerak langkah organisasi yang diimplementasikan oleh para pengurusnya harus senantiasa mencerminkan kebersamaan dan solidaritas.

Adapun inti dari kebersamaan dan solidaritas bisa disebut dengan ungkapan yang lebih sederhana dalam ujud kepedulian sosial dan kepedulian sosial sendiri dapat disebut lebih sederhana dengan sikap dan perbuatan penuh perhatian tanpa pamrih, karena semua diorientasikan kepada rasa kemanusiaan.

Untuk memahami dan mendalami sikap dan sifat kebersamaan dan solidaritas harus dimulai dari hal-hal yang paling sederhana. Tidak boleh ada beban kepentingan atau pamrih lain kecuali rasa kepedulian dan kemanusiaan.

Maka dari itu dalam organsiasi buruh yang sehat tidak boleh muncul diskriminasi, termasuk egosentrisitas seperti yang terjadi antara atasan dengan bawahan.

Karenanya dibutuhkan semangat perkawanan atau kemitraan selamanya mengiringi perjalanan organisasi yang sehat. Kebersamaan dan solidaritas dalam organisasi buruh harus terermin dalam semua sikap dan perbuatan yang nyata, tidak sekedar omong kosong.

Jika tidak, maka kepalsuan dari kebersamaan dan solidaritas tidak akan tumbuh dan membuat organisasi berjalan di tempat atau bahkan mandeg. Tidak maju dengan perkembangan yang ideal.

Oleh karena itu organisasi buruh dan serikat buruh atau serikat pekerja harus dibangun dengan semangat dan kesadaran yang didasari kepedulian dan solidaritas setiap fungsionaris serta semua unsur pendukung yang ada.

Fungsi dan peran utama organisasi buruh atau organisasi pekera adalah menjaga, melindungi dan mengupayakan kemajuan bagi kaum buruh, baik dalam dimensi ekonomi, politik maupun kebudayaan bahkan mungkin juga agama.

Pendek kata, organisasi buruh harus berusaha membangun, memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup kaum buruh dalam arti yang seluas-luasnya demi dan untuk kaum buruh itu sendiri.

Jika tidak, maka organisasi buruh tidak perlu ada, atau tidak perlu digubris oleh kaum buruh termasuk ajakan untuk menjadi simpitaisan maupun anggota organisasi buruh yang bersangkutan.

Kalau menggunakan langgam dan istilah Jawa, organisasi buruh itu “sei ing pamrih rame ing gawe”. Maksudnya, tidak perlu ribut-ribut tetapi banyaklah bekerja itu sekalian mengimplementasikan cara kerja tanpa koar-koar, apalagi mau pamer bahwa kita telah melakukan suatu pekerjaan.

Sebab hasil kerja dari organisasi buruh yang terpenting adalah apa yang bisa dinikmati oleh anggota bersama segenap pengurus organisasi.

Pandangan filosofis Jawa “sepi ing pamrih rame ing gawe” ini memang tidak sepenuhnya bisa digunakan semua dalam organisasi buruh. Namun setidaknya bisa memperlihatkan cara kerja yang tidak perlu mengharap pujian dari siapa-siapa kecuali fokus pada hasil kerja yang kemudian bisa dinikmati bersama kaum buruh yang berhimpun dalam organsiasi sebagai anggota serikat buruh atau serikat pekerja.

Ungkapan ini perlu dipapar karena secara empirik sudah berulang kali terjadi ketimpangan antara fungsionaris serikat buruh atau serikat pekerja berbanding terbalik dengan kondisi anggota organisasi yang bernaung di dalam organisasi tersebut.

Baca Juga: http://sbsinews.id/catatan-akhir-tahun-jumlah-buruh-berserikat-semakin-menurun-dan-lemah/

Maka, pada babak akhir untuk mengukur keberhasilan organsiasi buruh dalam memperbaiki dan memperjuangkan kepentingan buruh dalam bentuk kesejahteraan dalam arti luas harus diukur pula dari kesejahteraan para fungsionaris organsiasi buruh yang bersangkutan.

Jika pada umumnya yang relatif bisa dilihat keberhasilan menikmati kesejahteraan adalah fungsionaris organsiasi sementara buruh yang menjadi anggota organisasi buruh masih merana dan meranggas itu adalah hal yang biasa.

Namun dalam realitas yang sering pula terjadi, buruh masih miskin dan merana, sementara fungsionaris organisasinya juga begitu.

Dalam konteks ini, bisalah dipahami bila ada fungsionaris dan aktivis buruh yang bisa hidup bermewah-mewah akan menjadi sorotan oleh berbagai pihak.

Bukan saja dari para pengamat masalah perburuhan, tetapi juga dari sesama fungsionaris organisasi buruh serta kaum buruh itu sendiri. Sehingga tidak jarang diantaranya yang memberi kesimpulan, bahwa yang bersangkutan telah melakukan eksploitasi terhadap kaum buruh.

Hanya saja yang menjadi aib manakala yang terjadi sebaliknya, fungsionaris dan aktivis perburuhan hidup dalam serba keprihatinan dan terbatas, sedangkan buruh yang ugal-ugalan hidup dalam kememahan.

Contoh dari fenomena serupa ini sungguh terjadi di Indonesia pada sejak tahun 1970-an hingga sekarang. Setidaknya untuk mereka yang mengatasnamakan wakil buruh dengan memnduduki berbagai jabatan di berbagai instansi resmi baik di dalam negeri maupun sebagai perwakilan buruh di lembaga internasional relatif banyak dan menjadi fenomena tersendiri dalam kazanah perburuhan di Indonesia.

Ditulis Oleh: Jacob Ereste (aktivis dan pemerhati masalah buruh di Indonesia daj juga Ketua Dewan Pembina Komunitas Buruh Indonesia. Ketua Balitbang F.BKN-SBSI)

1 KOMENTAR

  1. Serkat Buruh yang benar-benar mementingkan buruhnya sudah banyak menyimpang dari aturan.
    Serkat Buruh juga banyak pengurusnya yang mementingkan BURUH ITU SENDIRI SEBAGAI SANTAPAN KEPENTINGAN ORGANISASI BAHKAN PRIBADI
    DAN SERIKAT BURUH…….terus berjalan pada aturan-aturan PERSERIKATAN……..dengan kata SOLIDARITAS dan UNIONIS……….JUGA TAK LEPAS dari Kepribadian masing-masing perorangan yang terus menerus berjalan pada aturan ORGANISASI SERIKAT BURUH,

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here