Mungkin kita hanya akan tertawa geli ketika mendapati 2 atau 3 anak-anak yang sedang mencoba mencuri mangga di halaman rumah kita. Terbawa kita pada lamunan masa lalu di mana kitalah anak-anak tersebut.
Tak pantas rasanya bila kita marah apalagi meneriaki anak-anak itu sebagai pencuri. Bila saya pemilik mangga, saya lebih senang akan panggil anak-anak itu 2 atau 3 hari kemudian sambil memberinya beberapa buah yang telah matang.
Mengajak menikmati bersama dan dalam obrolan saya selipkan pertanyaan : “manisan yang mana dengan yang kamu ambil kemarin? Pasti manis yang benar-benar matang di pohon kan?”
Sangat mungkin anak-anak tersebut tak lagi ingin mencuri karena alasan takut, tapi karena rasa malunya.
Tertawa dengan makna berbeda terjadi ketika kita sebagai orang tua dipanggil ke sekolah karena SPP 2 bulan belum bayar padahal uang itu sudah kita percayakan pada anak kita untuk membayarkannya. Pada titik ini kita tertawa pahit dan warning bahwa kenakalan ini harus mendapat sangsi tegas tak lagi boleh kita abaikan.
Kenakalan seperti ini telah masuk tahap kriminal dan tertawa pahit karena merasa gagal sebagai orang tua tak menyelesaikan masalah. Hukuman dan sangsi kita ambil dan radikal perubahan kita dalam mendidik layak mulai kita pikirkan.
Pada tahap yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika kita mendapati anak yang telah berani mencuri ayam milik tetangga misalnya, dan kemudian menjualnya karena kebutuhan kuota bagi smartphone. Itu bukan lagi hanya sebagai kenakalan dan kriminal perbuatan, itu sudah masuk ranah pidana.
Pembiaran tanpa pengawasan dari orang tua biasanya adalah penyebabnya. Addicted atau kecanduan terhadap sesuatu seringkali juga menjadi penyebab ide bagi munculnya tindak kriminal bahkan pada usia anak-anak.
Secara berurutan, ketiga peristiwa tersebut adalah kenakalan anak-anak. Kenakalan biasa hingga menjurus pada tindak kriminal yang berproses dari caranya merespon lingkungan dimana dia tinggal. Alamiah sebagai sebab terjadi karena proses tumbuh kembang pada usia anak-anak. Maka peran orang tua dan lingkungan yang kondusif harus hadir.
Sangat berbeda sebagai penyebab dengan berita perusakan 10 makam oleh 12 anak-anak di Solo. Ini bukan kenakalan anak-anak, ada indikasi kebencian sebagai penyebab.
Bayangkan anak-anak dengan umur antara 3 hingga 12 tahun telah mengenal apa itu kebencian. Padahal, bukankah kebencian adalah ranah orang dewasa?.
KEBENCIAN bukan alamiah sebagai milik pada anak-anak, ITU DIAJARKAN.
Dengan cepat ingatan kita dibawa pada demo yang akhir-akhir ini marak terjadi. Demo dengan nuansa agama dengan segala atributnya telah menyertakan anak-anak dalam wilayah orang dewasa. Lihat saja apa yang anak-anak itu bawa dalam demo tersebut, senjata?
Dengan cepat pula ingatan kita terbawa pada anak-anak di daerah konflik dimana mereka juga telah diajarkan membunuh dengan telah menjadi tentara Is*s.
Peristiwa Solo bukan sekedar makam yang dirusak oleh anak-anak berusia sangat belia, itu tentang betapa kronisnya paham radikalisme telah menginfeksi Indonesia.
Paham kebencian ternyata bukan hanya sedang diajarkan pada anak-anak dan maka warning harus kita lakukan tapi justru telah dipraktekkan oleh mereka yang bahkan baru berusia 3 hingga 12 tahun. Negara harus segera hadir..!!
Masih biasa-biasa sajakah keadaan seperti ini dan maka KPAI tak terdengar suaranya?
Redaksi SBSINEWS
22 Juni 2021