Narasi argumen Pemerintah untuk menaikkan harga BBM adalah subsidi tidak tepat sasaran. Argumen ini, sebenarnya—mohon maaf—ibarat ‘Joko Sembung makan tomat, tidak nyambung bodo amat!’ Kita bisa mengajukan pertanyaan sederhana:

‘Kalau harga BBM naik, apa subsidi jadi tepat sasaran?’ Jawabannya, selagi kita menganut sistem subsidi terbuka, subsidi tidak akan tepat sasaran. Menaikkan harga BBM akan mengurangi subsidi. Betul! Disparitas harga yang menyempit antara harga BBM subsidi dengan industri akan mengurangi penyimpangan. Iyes! Tapi apa lalu subsidi jadi tepat sasaran? Tidak! Subsidi tetap tidak tepat sasaran, meskipun jumlahnya turun!

Kalau argumennya adalah ketidaktepatan sasaran, apa solusinya menaikkan harga BBM? Solusinya adalah memberikan subsidi tepat sasaran. Caranya gimana? Berikan kepada yang berhak? Siapa mereka? Di sini kunci masalahnya. Pemerintah tidak punya data yang andal siapa mustahik subsidi. Menurut BPS, orang miskin di Indonesia ada 26 juta.

Tetapi, kelompok penerima manfaat (KPM) BLT BBM jumlahnya 20.65 juta jiwa. Kita tengok data pelanggan PLN. Orang miskin biasanya gampang dikenali dengan tempat tinggalnya, yang menunjukkan kebutuhan energinya. Rumah tinggal kecil, kebutuhan energinya kecil.

Jumlah pelanggan PLN ada 79 juta. Yang menikmati tarif setrum subsidi 37 juta pelanggan. Mereka adalah pelanggan 450 VA, jumlahnya 24.3 juta, dan pelanggan 900 VA, jumlahnya 8.2 juta jiwa.

Namun, di kelompok tarif 450 VA yang tercantum di DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), jumlahnya hanya 9.8 juta. Di kelompok tarif 900 VA, yang tercantum di DTKS hanya 4.1 juta.

Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), lebih dari separo (55.7%) penikmat subsidi listrik adalah golongan mampu. Jika dicek silang dengan DTKS, jumlah seharusnya penerima tarif setrum subsidi bukan 37 juta jiwa, tetapi hanya 13.9 juta.

Sekarang kita buat simulasi sederhana. Berapa kuota BBM subsidi? Pertalite 23 juta kiloliter, solar 15 juta kiloliter. Ini adalah kuota subsidi terbuka. Artinya, semua orang—kaya miskin—bisa beli BBM subsidi. Kalau tepat sasaran, kuota subsidi tidak akan sebesar itu. Kuota ditentukan berdasarkan mustahik dan konsumsi rata-rata per liter dikali setahun.

Menurut data BKF, 40% masyarakat terbawah mengonsumsi BBM rata-rata 17.1 liter per rumah tangga per bulan. Artinya konsumsi mereka rata-rata 0.57 liter per hari. Dikali setahun jadi 208 liter. Tidak banyak!

Sekarang tinggal pilih data mustahik yang mau dikalikan. Berdasarkan data DTKS yang dicek silang, yang berhak mendapat tarif setrum subsidi jumlahnya 13.9 juta. Kalau berdasarkan jumlah KPM penerima BLT, jumlahnya 20.65 juta.

Kalau berdasarkan data BPS, orang miskin 26 juta. Oke, kita pakai data tertinggi, 26 juta. Kita hitung: 208 liter x 26 juta = 5.408.000.000 (baca: 5.4 miliar liter) alias 5.4 juta kiloliter. Jumlah ini kurang dari seperempat kuota BBM Pertalite tahun 2022 (23 juta kiloliter). Berapa subsidi per liter Pertalite? Kita ikuti saja asumsi Pemerintah.

Dengan asumsi ICP US$105 per barel, harga keekonomian Pertalite adalah Rp 14.450 per liter. Kalau dijual (sebelum naik) per liter Rp 7650, subsidi negara Rp 6.800 per liter. Kita kalikan dengan kuota setahun (5.4 juta kl).

Jumlah subsidinya hanya Rp36.7 triliun. Anggap saja kuota subsidi tambah 10 persen untuk lain-lain (rumah ibadah, sekolah, RS), jumlah subsidi jadi Rp 40.3 triliun. Bandingkan dengan kuota yang ada, 23 juta kl. Jika subsidi ditarik sejak awal tahun (asumsinya ICP sudah terkoreksi di awal tahun), subsidi Pertalite bisa tembus Rp 156 triliun. Besar sekali selisihnya bukan? Ini belum termasuk solar dan elpiji.

Tidak heran, alokasi subsidi dan kompensasi BBM (Pertalite dan solar) serta elpiji mencapai Rp 362.8 triliun. Subsidi dan kompensasi listrik Rp 81 triliun. Ditambah kurang bayar kompensasi tahun 2021 jadi Rp 502 triliun.

Maka, jika ada yang bertanya, apakah menaikkan harga BBM satu-satunya opsi? Jawaban saya tidak! Harga BBM subsidi bisa tetap alias tidak naik, tetapi hanya dialokasikan untuk yang berhak. Namun, karena pemerintah sendiri tidak tahu persis siapa yang berhak, APBN jebol dan tidak ada pilihan lain selain menaikkan harga.

Apa bukti pemerintah tidak tahu siapa yang berhak? Kan pemerintah sendiri yang bilang subsidi BBM tidak tepat sasaran. Pemerintah juga ngaku KPM (kelompok penerima manfaat) banyak yang meleset. Orang mampu dapat BLT. Yang berhak malah tidak dapat. Orang mati masih tercantum dalam KPM. Yang hidup dan berhak malah tidak dapat.

Solusinya, benahi administrasi kependudukan. Mantapkan SIN (Single Identity Number). Inilah administrasi paling primer dalam kita bernegara. Basis negara narik pajak adalah SIN. Basis pemerintah memperoleh mandat (melalui pemilu) adalah SIN. Basis pemerintah menyalurkan subsidi adalah SIN. Tanpa SIN yang andal, kebijakan pemerintah pasti bermasalah.

Sekian.
M Kholid Syeirazi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here