Kamis, 25 Februari 2021 _ Jam: 11.45
Di RS. Pertamina
Ikut bela sungkawa pada wafatnya sang seniman pejuang Pak Tedjabayu berusia 78 tahun yang perjalanan hidupnya itu dominan sunyi dari pemberitaan, namun semangatnya bisa mereinkarnasi siapapun yang pro demokrasi dan menjalankan kebenaran..
Kesaksiannya dari :
Goenawan Mohamad tentang Almarhum :
Kabar duka, dari saya dan teman-teman Komunitas Utan Kayu. Kawan kami, Tedjabayu, meninggal. Diduga terpapar Covid-19.
Bagi yang belum kenal, izinkan saya memperkenalkannya:
Buku Mas Tedjabayu, “Mutiara di tengah Ilalang”, baru saja terbit. Di sana almarhum menceritakan pengalamannya sebagai tapol dalam beberapa penjara Orde Baru — sebuah dokumen sejarah dari tangan pertama, tentang dirinya dan, lebih panjang lagi, tentang kawan-kawannya senasib.
Buku yang memukau, di mana kepahitan diutarakan tanpa kebencian. Mas Tedjabayu ditangkap ketika ia mahasiswa anggota CGMI, yang ada dalam kubu PKI. Dia putra tokoh senirupa modern Indonesia, S. Soedjojono dan Mia Bustam, yang juga seorang perupa. Soedjojono pernah dikenal sebagai pelukis Kiri yang sangat berpengaruh.
Tedjabayu kami kenal dalam gerakan prodemokrasi menentang kediktatoran Orde Baru. Wadah yang tampil ke publik gerakan kami adalah ISAI, Institut Studi Arus Informasi, berpusat di Jalan Utan Kayu 68-H Jakarta.
Kegiatan ISAI yang terutama: menerobos dan melawan sensor dan disinformasi yang dipaksakan Orde Baru. Sebagian besar kerja kami berlangsung klandestin.
Mas Tedjabayu seorang anggota Utan Kayu yang paling siap dengan kerja “bawah tanah”. Dia memperkenalkan sistem encryption dalam komunikasi internet, hingga tidak bisa dibuka intel. Dia bagian dari Team Blok M, yang bekerja rahasia untuk pelbagai penerbitan gelap.
Ia anggota tim yang penuh dedikasi.
Di tangannya. tak pernah ada tugas yang terbengkelai. Ia kagum kepada mereka yang menjalankan tugas dengan berani dan ikhlas, atau, dalam kata-katanya, “beyond the call of duty”.
Mas Tedjabayu, yang dibesarkan dalam tradisi Kiri, bukan seorang ideolog yang mudah memamerkan jargon revolusi. Dia bahkan bisa sangat kritis kepada PKI dan pimpinannya.
Ia cocok dengan pemikiran progresif yang digerakkan sikap ethis: empati kepada yang dibungkam dan dihina. Ia warga sejati gerakan kami.
Seperti pada Ging Ginanjar almarhum, anggota gerakan yang juga meninggalKan kami lebih dulu, tidak ada dari dia kehendak menonjolkan jasa.
Saya terpaksa melanggar “aturan” bersama untuk tak bercerita tentang masa bawah tanah itu, karena saya kehilangan satu tauladan. Sebutir mutiara.
Tedjo adalah tauladan bagi Gerakan Prodemokrasi.