Hal itulah yang didengungkan para pendiri “Jong Batak” tak-kala mereka mendirikan organisasi tersebut. Jong Batak dibentuk atas kejengkelan anggota Jong Sumatranen Bond yanga berasal dari etnis Batak. Para pemuda Batak merasa berada di bawah ketiak Jong Sumatera Bond yang didominasi etnis Minangkabau. Silang pendapat sesama pemuda Sumatera itu mendorong pemuda Batak mendirikan Jong Batak di Batavia.
Sebenarnya, sebelum Jong Sumatera Bond ada, sudah ada organisasi pemuda Batak walau bukan bergerak dalam politik. Bermula dari organisasi cinta kasih bernama “Haholongan. ” Haholongan berarti kekasih. Haholongan didirikan untuk mengatasi kesulitan para pemuda-pemudi Batak di Batavia ketika itu (sekarang disebut Jakarta). Anggotanya pemuda Batak yang beragama Kristen dan Islam. Organisasi ini berbentuk sosial, berhubungan dengan kemalangan atau jika ada anggota yang meninggal dunia.
Dari Haholongan kemudian lahirlah organisasi olahraga Bataks Voetbal Vereniging (BVV), dipimpin oleh J.K Panggabean kemudian hari jadi pengusaha. BVV diganti menjadi Bataksbond dari sana kemudian berganti nama menjadi Jong Batak. Jelas, Jong Batak adalah organisasi politik. Diantara pendirinya Amir Syarifuddin Harahap di kemudian hari menjadi Perdana Menteri, Ferdinand Lumbantobing kelak menjadi menjadi Menteri Penerangan R.I, dan Sanusi Pane menjadi sastrawan 45.
Tahun 1915 pemuda-pemuda Batak tamatan HIS Sigompulon, Tapanuli Utara, sebagian besar melanjutkan sekolah ke Kwekschool Gunung Sahari. Tahun 1917, Simon Hasibuan seorang bekas guru Zending yang bekerja pada jawatan Kadaster mengumpulkan para pemuda pelajar ini pada satu pesekutuan “Sauduran”. Kata Sauduran berasalah dari kata “udur” yang berarti pergi bersama-sama, satu derap langkah atau seia sekata, sepenanggungan dalam satu tujuan bersama. Tahun 1922, pendeta Mulia Nainggolan, pendeta Huria Kristen Batak yang pertama di Batavia dan pula Jawa menjadi“paniroi” atau pembina di Sauduran.
Waktu itu jumlah anggota jemaat sebanyak 50 orang, salah satu diantaranya Merari Siregar, penulis “Azab dan Sengsara.” Di tahun 1920-an, makin banyaknya pemuda tamatan HIS dari tanah Batak melanjutkan pendidikannya dan mencari pekerjaan ke Batavia. Sensus tahun1930 menunjukkan jumlah orang Batak di Batavia 1.263 jiwa.
Ada pula yang kembali ke Tapanuli seperti Hezekiel. M. Manulang mendirikan media “Soara Batak” dan membangun gerakan untuk menentang pengusaha-pegusaha Eropa terutama Belanda yang hendak membuka perkebunan di daerah Silindung, Tapanuli Utara.
Waktu yang ditunggu-tunggu itu tiba, tak kala Jong Sumatera Bond pecah, tahun 1925. Kesadaran Batak itu berlahan mulai mencuak kepermukaan. Kesadaran sesama satu suku mengkrital menjadi semangat baru mendirikan Jong Batak.
Tahun 1927, mantan Menteri Urusan Daerah Jajahan kemudian hari menjadi Perdana Meteri Belanda bernama Hendrikus Colijn mengatakan, “Kesatuan Indonesia sebagai suatu konsep kosong. Karena, masing-masing pulau dan daerah Indonesia ini adalah suku yang terpisah-pisah sehingga masa depan jajahan ini tak mungkin tanpa dibagi dalam wilayah-wilayah.” Menentang pernyataan Colijn, 28 Oktober 1928 lahirlah Sumpah Pemuda oleh Kongres Pemuda II disinilah organisasi pemuda kedaerahan bersatu termasuk dari Jong Batak. Dari Jong Batak diwakili Amir Sjariffudin Harahap, Sanusi Pane.
Setelah Jong Batak berdiri, sindirian datang dari anggota Jong Sumatera Bond. Jong Batak hampir tidak diperhitungan dalam deklarasi Sumpah Pemuda itu karena sentimen-sentimen negatif dari anggota Jong Sumatranen Bond.
Karena itu, Sanusi Pane mengingatkan agar tak ada caci maki antara kedua belah pihak. Semua harus saling menghargai dan menghormati sebagai sesama bangsa, lebih-lebih sebagai sesama orang Sumatera. “Sekali memilih dalil bahwa kekuatan suatu bangsa sebagian terdapat dalam kebudayaannya maka dengan berpikir secara konsekuen kami telah sampai kepada kesimpulan bahwa suatu Jong Bataks Bond mempunyai hak untuk berdiri,” kata Sastrawan asal Muara Sipongi, Tapanuli Selatan ini.
Dan, pada anggota Jong Batak berpesan “Jika kita ingin agar perhimpunan ini berumur panjang, maka jangan sekali-kali kita memasuki perhimpunan ini dengan pertanyaan keuntungan apakah yang akan kita peroleh, melainkan dengan pertanyaan apakah yang dapat kita berikan. Janganlah kepentingan kita sendiri menjadi pendorong kita untuk menjadi anggota, melainkan rasa cinta terhadap bangso Batak.”
Kini Jong Batak telah tiada, tetapi ia turut menyumbangkan lembar sejarah pemuda dalam menegakkan bingkai kebhinekaan. Jong Batak dengan warna kedaerahan telah ikut menumbuhkan semangat kebersamaan, dan tumbuhnya persatuan yang lebih besar yaitu nasionalisme. Sejarah telah menulis cinta kasih “Haholongan “ bisa memaknai pemuda Batak mendirikan Jong-nya sendiri, sama seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915) yang terkenal itu. Sekarang yang penting adalah mengangkat spirit Jong-Jong untuk memaknai berbangsa dan bernegara, dan menjaga semangat kebhinekaan itu untuk tetap bestari.
(Hojot Marluga)