Pemerintah memangkas anggaran insentif bagi tenaga kesehatan (Nakes) yang menangani pasien Covid-19 pada tahun 2021 ini. Keputusan tersebut tertuang dalam SK Menteri Keuangan nomor: S-65/MK.02/2021. Nilai insentif berkurang hingga 50 persen dari tahun 2020.
Pada tahun 2021, dokter spesialis mendapatkan insentif sebesar Rp7.500.000, peserta PPDS Rp6.250.000, dokter umum dan gigi Rp5.000.000, bidan dan perawat Rp3.750.000, dan tenaga kesehatan lainnya sebesar Rp2.500.000. Sementara itu, untuk santunan kematian tenaga kesehatan jumlahnya masih tetap, yakni sebesar Rp300.000.000.
Pada tahun 2020, pemerintah menetapkan besaran insentif untuk dokter spesialis sebesar Rp 15 juta. Dokter umum/dokter gigi Rp 10 juta. Bidan atau perawat Rp 7,5 juta. Tenaga medis lainnya Rp 5 juta.
Merespon hal ini, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah mengungkapkan bahwa seharusnya pemerintah tidak mengurangi insentif tenaga kesehatan. Dia menilai, langkah yang dilakukan Menkeu untuk mengurangi besaran insentif itu kurang tepat. Sebab, kata dia, beban tenaga medis semakin berat, diiringi dengan jumlah kasus harian yang selalu melebihi 10 ribu setiap harinya.
“Kalau misalnya benar dikurangi sampai 50 persen, berarti tandanya pemerintah kurang peka. Katanya kita digembor-gemborkan sebagai garda terdepan, tapi kan kasus semakin tinggi, beban semakin berat, nah malah dikurangi insentifnya,” kata Harif saat dihubungi merdeka.com, Rabu (3/2).
Dia pun berharap, pemerintah mempertimbangkan kembali terkait keputusan pemotongan insentif tersebut. Menurutnya, insentif yang diberikan bagi tenaga kesehatan selama ini bukan hanya bentuk apresiasi pemerintah untuk para tenaga kesehatan saja, namun lebih dari itu. Menurutnya pemerintah juga harus mengingat besarnya risiko yang dihadapi para tenaga kesehatan selama berjuang merawat dan menyembuhkan pasien Covid-19.
“Kalau memang benar kata Menkeu budget negara kurang, kan bisa direalokasi dengan sektor lain. Karena tunjangan nakes itu bukan semata-mata apresiasi saja, tapi kita harus melihat beban risiko kerjanya. Kita juga harus tetap menjaga diri supaya tidak tertular. Kita masih harus kerja ke kantor pakai kendaraan sendiri dan seterusnya,” kata dia.
Seperti yang diketahui, per 2 Februari kemarin, masih ada 172.576 kasus aktif di Indonesia. Sementara itu, masih ada 75.533 kasus suspek.
Harif berharap, 172 ribu kasus aktif tersebut bisa dirawat oleh para nakes dengan baik hingga sembuh. Oleh sebab itu, kata Harif, bukan hanya kesehatan para nakes saja yang harus dijaga, namun psikologinya harus tetap dijaga.
“Kita petugas kesehatan seharusnya dijaga semangatnya. Dengan begitu, maka pikiran positif dan optimisme tetap terjaga, imunitasnya pun semakin baik. Jadi kalau kita semua tidak punya semangat, ini akan berdampak luar biasa,” kata dia.
Dia pun ingin para nakes tetap bahagia selama berjuang merawat pasien Covid-19, meskipun jam kerja bertambah akibat jumlah pasien yang membludak pasca libur tahun baru.
“Saat ini kita jam kerjanya nambah. Bahkan yang seharusnya libur, kita tetap masuk soalnya kan tambah banyak pasiennya. Sementara penambahan tenaga kesehatan tidak dilakukan dengan cepat,” ujarnya.
“Teman-teman di RS rujukan, swasta, maupun daerah saat ini berjibaku merawat pasien Covid. di Puskesmas juga tracing diperbanyak,” kata dia.
Seperti yang diketahui, jumlah testing dan tracing akhir-akhir ini meningkat. Pada 2 Februari kemarin, Kemenkes mencatat sebanyak 71.702 spesimen telah dites.
Harif juga menjelaskan bahwa dalam melakukan tracing, banyak relawan yang dipekerjakan. Jadi bukan hanya di wisma Atlet saja yang banyak mempekerjakan relawan. Di beberapa rumah sakit juga ada tenaga relawan yang membantu. Relawan tersebut, kata Harif, tidak mendapatkan gaji seperti perawat atau dokter yang terdaftar sebagai karyawan suatu rumah sakit.
“Relawan kan dapatnya insentif saja, kalau perawat di RS kan masih ada gaji, jadi kalau dipotong setengah, mereka cuma terima Rp3.250.000 per bulan, kalau kerja di Wisma Atlet itu sudah jauh dari UMP. Jadi intinya semoga tidak dikurangi ya insentifnya,” harapnya.
Senada dengan Ketua Asosiasi Perawat, salah satu perawat di Rumah Sakit Umum Daerah di Jakarta Selatan, AR juga menyayangkan bila insentif tenaga kesehatan dipotong hingga 50 persen. Menurutnya, keputusan tersebut kurang tepat. Sebab kata dia, semenjak bulan Desember, jam kerjanya bukan berkurang malah bertambah. Padahal, kata AR, di bulan Desember ada banyak tanggal merah.
“Yang lain liburan, kita nakes mah harus kerja keras. Enggak ada tanggal merah istilahnya. Kalaupun ada libur, kita juga enggak bisa kemana-mana. Takut nularin ke yang lain, capek juga jadi ingin istirahat di rumah saja,” kata AR bercerita kepada merdeka.com, Rabu (3/2).
Dia pun berharap, pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan memangkas insentif nakes tersebut. Dia mengatakan, insentif yang diterima para nakes selama ini bukan hanya dihabiskan untuk ongkos pulang pergi ke rumah sakit saja, namun juga banyak dihabiskan untuk membeli vitamin serta makanan bergizi agar bisa membentengi diri dari virus Corona.
“Kalau saya sih ya rutin beli vitamin, bukan hanya untuk saya tapi untuk keluarga saya juga. Saya kan punya orang tua yang sudah berumur, ibaratnya mereka rentan kena Covid-19. Saya kan masih tinggal serumah dengan mereka. Jadi walau saya dapat vitamin, mereka kan enggak,” kata dia.
“Kadang masker juga beli sendiri, intinya harus menyetok banyak. Lalu desinfektan, antiseptik dan sebagainya, sabun-sabun juga harus yang bisa benar-benar bunuh kuman. Jadi pasti pengeluaran kita sebagai nakes lebih besar,” kata AR menjelaskan.
SUMBER : Merdeka.com