Oleh Muchtar Pakpahan, Ketua Umum DPP (K)SBSI, GB UTA45
Di Kompas.com “sumbangsih generasi milenial belum tampak selain aksi demonstrasi besar-besaran menolak UU Cipta Kerja yang berlangsung dalam waktu terahir” Faktanya massa utama yang demonstrasi melawan UU Cipta Kerja itu adalah Buruh dan mahasiswa. Sama dengan tahun 1998 pun, massa utama yang demo itu adalah buruh dan mahasiswa.
Mengapa demo? Setelah RUU Ketenagakerjaan disahkan tahun 2002, SBSI bersama KADIN dan APINDO melakukan demo di depan istana selama seminggu, juga didukung mahasiswa. Karena dalam RUU tersebut ada tiba-tiba masuk outsourcing (aannemer) dan PKWT (buruh kontrak). Presiden Megawati Sukarnoputri yang didukung fraksi terbesar PDIP tetap mengundangkannya menjadi UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Buruh melawan karena buruh sadar saat itu juga buruh akan menerima penderitaan dari outsourcing dan buruh kontrak itu. Mahasiswa pun ikut melawan walaupun tidak sesemarak melawan UU Cipta Kerja, karena mereka memahami bahkwa kalau lulus dari Perguruan Tinggi, lalu bekerja menerima upah, akan menyandang status outsourcing dan buruh kontrak. Berarti menderita.
Kemudian faktanya adalah demikian. Hampir semua BUMN dan usaha perbankan dan lembaga keuangan, memberlakukan outsourcing dan buruh kontrak. Siapa yang mengalaminya? Juga para Sarjana atau lulusan Perguruan Tinggi. Dari sudut hubungan industrial, UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi kehidupan penerima upah atau buruh bernasib buruk. Kemudian datang lagi UU Cipta Kerja dengan sistem Omnibus Law yang jauh lebih buruk dari UU nomor 13 tahun 2003. UU Cipta Kerja, sekali buruh kontrak akan terus buruh kontrak, dan penerapan outsourcing tanpa batas. Diperburuk lagi tidak dilibatkannya Dewan Pengupahan (tripartit) menentukan UMP serta begitu mudahnya pengusaha memphk. Dapat digambarkan, begitu mudahnya orang kaya semakin kaya, dan penerima upah rendah akan terus bernasib buruk. Ini akan diundangkan Presiden Joko Widodo kader PDIP (ucapan Puan Maharani) dan didukung PDIP sebagai fraksi terbesar di DPRRI. Sama dengan tahun 2003.
Yang mengherankan bagi saya adalah mengapa PDIP simbol marhaen dengan slogan partai wong cilik, ditambah dipahami sebagai titisan Bungkarno membuat kapitalis sangat berbahagia dan rakyat marhaen menderita? Kecaman Bung karno yang sangat keras kepada Kapitalisme yang beranakkan Imperialisme dan Neokolonialisme adalah ‘d exploitation d’lhome par lhome, penghisapan darah manusia oleh manusia. Dimana itu terdapat? Di status outsourcing dan status buruh kontrak, ditambah upah murah dan mudah diphk.
Saya ingin juga mendiskusikan UU Cipta Kerja ini dengan yang saya hormati Ibu Megawati Sukarnoputri, atau dengan DPP PDIP atau dengan fraksi PDIP. Faktanya sulit terwujud. Sebagai kader PDI tahun 1977, saya ingin memahami perkembangan pemikiran apa tentang kapitalis vs marhaenis yang dipahami para fungsionaris PDIP sebagai partai wong cilik dan titisan Bungkarno. Karena itu, demo yang dilakukan mahasiswa bersama buruh, mencegah agar rakyat Indonesia tidak menderita karena UU Cipta Kerja memberi keleluasaan kepada Kapitalis untuk melakukannya. Sewaktu saya mahasiswa 1973 – 1981, sering juga demo menentang keserakahan kapitalis yang dibonceng IMF dan WB. Puncak demo itu 1998 (waktu itu saya status narapidana politik) menghadirkan reformasi, kemudian menghantar Ibu Megawati menjadi Presiden RI pada tahun 2001.
Kalau dulu keserakahan itu lewat kebijakan pemerintahan Orde Baru atau policy approach, sekarang melalui undang-undang atau legal approach. Lebih bahaya yang legal approach, yang memakan rakyat Indonesia secara sistematis, massive, terorganisir dan sah secara hukum. Karena itu bila buruh dan mahasiswa diam, berarti memasuki dunia penderitaan. Makanya lebih baik melawan, kalaupun dipenjarakan lebih terhormat dari pada penderitaan itu dilakoni karena takut bicara, akan mati sebagai pecundang. Merdeka! Merdeka! Merdeka!