Ceramah KH Ulil Abshar Abdalla. Transkrip oleh M.Baagil
Dalam sebuah hadits yang dikisahkan oleh Imam Bukhari, yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi saw Abu Mas’ud Al Anshari, dikisahkan bahwa pada suatu hari ada seorang sahabat yang berkunjung kepada Rasulullah saw membawa sebuah pengaduan. Orang ini mengatakan bahwa ia sudah malas lagi untuk menjalankan shalat subuh berjamaah karena sang Imam shalat selalu membaca surat-surat panjang ketika shalat. Mendengar laporan ini Rasulullah saw langsung marah, yang digambarkan oleh sang periwayat dengan sangat dramatis, dimana nabi tidak pernah marah seperti marahnya beliau seperti pada hari itu.
Kemarahan beliau yang dikarenakan tindakan imam shalat yang membuat pengikutnya malas shalat berjamaah lagi. Beliau lalu berpidato pendek, memberikan nasihat kepada para sahabatnya. Beliau berkata, “inna minkum munaffirina! ”, sesungguhnya diantara kalian ini ada golongan orang munaffirin ! Munaffirin berasal dari kata nafara – yanfuru artinya lari, pergi. Yaitu orang-orang yang membuat orang menjadi lari, takut, tidak menyukai agama.
Beliau melanjutkan, “jika kalian menjadi imam, maka pendekkan suratnya”. Karena diantara makmum mungkin ada yang tua, ada yang lemah, ada yang memiliki keperluan dsb.
Yang menarik disini adalah istilah yang dipakai oleh rasulullah saw, yaitu “munaffirin”, orang-orang yang membuat orang lain menjadi takut terhadap Islam. Orang-orang yang membuat kita ill feel, yang membuat citra Islam menjadi buruk, bahkan citra agama menjadi jelek, Islam diidentikkan dengan kekerasan, keterbelakangan, anti perdamaian, kebencian, hoaks.
Itulah munaffirin, orang – orang yang membuat orang lari dari Islam. Dan ternyata fenomena munaffirin ini tidak hanya ada pada masa rasulullah saja, tetapi juga berlangsung hingga sekarang.
Jika islam diterjemahkan dalam bentuk munaffirin ini, alih-alih membuat orang menyukai Islam, justru orang akan takut terhadap Islam.
Di Eropa sekarang muncul gerakan Islamophobia. Phobia atau takut terhadap Islam. Gerakan ini muncul salah satunya karena praktek kaum munaffirin, disamping faktor yang lain.
Jumlah kaum munaffirin sebenarnya tidak banyak, namun mereka sangat fanatik, sangat militan, dan biasanya mereka memiliki pengikut yang banyak di media-media sosial seperti Instagram, facebook, tweeter, youtube.
Kelompok ini walaupun jumlahnya sedikit namun suara mereka nyaring. Di media sosial, semakin anda berteriak keras dengan bahasa-bahasa yang penuh dengan sensasi maka semakin banyak orang datang dan mengikuti.
Kaum munaffirin pandai memainkan trik, yaitu sensasi agar mereka didengar dan diperhatikan. Melalui media suara kaum munaffirin diamplifikasi. Di Indonesia dan dunia internasional tindakan dan sikap mereka memburukkan citra Islam.
Cara mereka memahami dan menerjemahkan Islam itulah yang bermasalah. Tugas kita yang sadar adalah bagaimana meng-counter kaum munaffirin ini.
Bagaimana memunculkan corak pandang Islam, memunculkan narasi yang menjadi pengimbang tindakan kaum munaffirin.
Selama suara kaum munaffirin ini mendominasi di media maka Islam akan terus menerus menjadi agama yang tertuduh.
Bagaimana meng – counter kaum munaffirin ? Pertama kita harus memahami, bahwa kaum munaffirin pada awalnya mungkin memiliki niat baik, namun terkadang menggunakan cara yang kurang tepat jika tidak ingin dikatakan salah.
Mengapa? Biasanya karena mereka kurang memiliki bekal pengetahuan yang cukup. Semangatnya besar tetapi pengetahuannya kurang. Imam Al Ghazali (ridwanallahu ta’ala alaih) memiliki istilah yang menarik dalam menyebut kaum munaffirin ini.
Beliau menyebutnya dengan ahlul ghirrati billah, yaitu orang – orang yang ‘tertipu‘ oleh Allah swt. Maksudnya adalah orang-orang yang menyangka dirinya mencintai Tuhan, tapi sebetulnya dia tidak mencintai Tuhan.
Dia hanya mencintai dirinya sendiri, atau kelompoknya, atau golongannya, atau madzhabnya. Tapi dia sangat yakin dia mencintai Tuhan. Dia selalu mengatakan tindakannya demi Islam, demi Allah swt dsb. Fenomena ahlul ghirrati billah sudah ada sejak zaman Imam Ghazali pada abad 10 Masehi.
Istilah seperti bela Islam, bela Ulama dsb yang mereka tujukan sebenarnya membela Islam atau membela kelompoknya?
Membela ulama atau membela tokohnya saja?
Itulah yang disebut Imam Ghazali dengan ahlul ghirrati billah, yang menganggap yang bersama mereka sajalah yang mencintai Allah, yang mencintai Islam, yang membela Islam, membela ulama, sedangkan kelompok diluar mereka tidak mencintai Islam dan ulama. Padahal, masih menurut Imam Al Ghazali, kebenaran itu bisa ada pada setiap kelompok dan tidak dimonopoli oleh satu kelompok saja.
Apa penyebab munculnya kaum munaffirin ini ? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya penghayatan dan pengamalan atas akhlak. Mengamalkan ajaran Islam yang tidak dibarengi dengan akhlak.
Hilangnya atau kurangnya penghayatan dan pengamalan atas konsep ajaran ikhsan. Ikhsan adalah sesuatu yang membuat Islam dan Iman menjadi indah walau dalam pandangan orang di luar Islam sekalipun.
Kaum munaffirin ini yang menghilangkan keindahan ini. Dalam riwayat hadits, rasulullah saw bersabda, “Innallaha katabal ikhsana ‘ala kulli syai’in“, sesungguhnya Allah swt mewajibkan dalam setiap kita mengerjakan segala sesuatu untuk mengedepankan aspek ikhsan.
Salah satu ikhsan adalah praktek yang pernah dilakukan oleh Sunan Kudus. Sunan Kudus dulu pernah melarang orang-orang Islam yang tinggal di Kudus berkorban dengan Sapi, untuk menjaga perasaan orang-orang Hindu. Beliau bukan mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah swt, tetapi menjaga perasaan. Sapi adalah hewan yang disucikan oleh orang-orang hindu, dan beliau bukan mengimani kepercayaan orang-orang Hindu, namun menghormati perasaan mereka.
Sampai saat ini meski di kota Kudus mungkin sudah tidak ada orang Hindu namun ajaran beliau masih saja diamalkan. Di Kudus anda akan sulit atau tidak bisa menemukan masakan di warung dengan menu daging sapi.
Mereka menggantinya dengan daging kerbau. Fatwa beliau melarang menyembelih sapi bukanlah fatwa fikih, tetapi fatwa sosial dalam rangka ikhsan. Cara seperti inilah yang menyebabkan Islam berkembang dengan cepat di Jawa, bukan dengan cara – cara kaum munaffirin.