Oleh : Timboel Siregar

Kehadiran UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) bagi PNS, yang dimulai efektif per 1 Juli 2015.

Sebagai regulasi operasionalnya, penyelenggaraan kedua program diatur di Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 2015 jo. PP No. 66 Tahun 2017, yang menyerahkan pengelolaan kedua program ini ke PT. Taspen,
Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan suatu instrumen Negara yang mampu melindungi rakyat Indonesia dari akibat masalah sosial yang dialaminya. Dengan prinsip bergotong royong dalam pelaksanaan SJSN, seluruh pekerja baik ASN (PNS dan PPPK), Non ASN maupun pekerja swasta akan bersama-sama menanggung pembiayaan sehingga mampu mendukung keberlanjutan pelaksanaan JKK JKM.

Tentunya harapan pelaksanaan JKK JKm dengan bergotong royong tersebut ternyata tidak terimplementasi di program JKK dan JKm. Kehadiran PP No. 70 tahun 2015 jo. PP No. 66 Tahun 2017 yang menyerahkan pengelolaan JKK dan JKm bagi PNS kepada PT. Taspen merupakan pengabaian prinsip-prinsip jaminan sosial yang ada di UU SJSN, UU BPJS serta UU ASN. Kondisi tersebut malah akan diperparah dengan lahirnya PP No. 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK), yang akan menyerahkan penyelenggaraan program JKK dan JKm bagi PPPK dan Non ASN lainnya seperti tenaga honorer ke PT. Taspen.

Pelanggaran Hukum Positif
Pengelolaan Program JKK dan JKm bagi PNS oleh PT. Taspen, yang akan diikuti oleh PPPK dan non ASN, menurut saya merupakan pelanggaran hukuk positif yang ada.

Beberapa ketentuan yang dilanggar adalah: pertama, Pasal 5 Peraturan Presiden (Perpres) no.109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Porgram Jaminan Sosial, yang menyebutkan bahwa pekerja yang bekerja pada pemberi kerja penyelenggara negara yang meliputi calon pegawai negeri sipil, pegawai negeri sipil, anggota TNI, anggota POLRI, pejabat negara, pegawai pemerintah non pegawai negeri, prajurit siswa TNI, dan peserta didik POLRI wajib didaftarkan dalam program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan pensiun, dan program jaminan kematian secara bertahap kepada BPJS Ketenagakerjaan oleh penyelenggara negara.

Kedua, mengacu pada Pasal 92 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN disebutkan bahwa Perlindungan berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian bagi PNS mencakup jaminan sosial yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional. Ketiga, Pasal 106 ayat (2) UU ASN yang menyatakan perlindungan berupa jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian bagi PPPK dilaksanakan sesuai dengan sistem jaminan sosial nasional, dan Keempat, Pasal 75 ayat (2) PP No. 49 Tahun 2018 yang menyatakan perlindungan berupa jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian dilaksanakan sesuaidengan sistem jaminan sosial nasional.

Dari seluruh ketentuan di atas, sudah sangat jelas bahwa pengelolaan program JKK dan JKM bagi PNS dan PPPK serta Non ASN lainnya harus berdasrkan pada UU SJSN, yang mengacu pada sembilan prinsip SJSN yaitu kegotong-royongan; nirlaba; keterbukaan; kehati-hatian; akuntabilitas; portabilitas; kepesertaan bersifat wajib; dana amanat; dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

Faktanya PT. Taspen adalah perseroan terbatas yang berorientasi mencari keuntungan (bukanlah institusi nirlaba), dan hasil investasi dana kelolaan di PT. Taspen tidak diserahkan kembali kepada peserta tetapi diserahkan untuk deviden dan tantiem Direksi. Seharusnya seluruh pekerja yaitu ASN dan pekerja swasta bergotong royong membiayai JKK JKm, bukan malah tercabik-cabik seperti saat ini.

Ketidakseriusan Mengelola JKK JKM Pengelolaan program JKK dan JKm bagi PNS oleh PT. Taspen tidak hanya melanggar ketentuan hukum positif tetapi juga dalam pelaksanaannya masih banyak PNS yang belum memiliki kartu JKK JKm dari PT. Taspen sehingga mereka tidak mengetahui kalau mereka dijamin oleh PT. Taspen.
Dari beberapa kali kunjungan ke daerah saya menemukan fakta bahwa masih banyak PNS yang belum memiliki kartu JKK JKm dari PT. Taspen.

Sampai minggu lalu dalam acara jaminan sosial di Kabupaten Siak Riau, saya masih menemukan fakta tersebut. Bila saja PT. Taspen serius mengelola Program JKK JKm ini maka seharusnya seluruh PNS sudah mendapatkan sosialisasi dan kartu JKK JKm. Bukankah kedua program ini sudah berjalan 3,5 tahun, yaitu sejak 1 Juli 2015 lalu.

Akibat ketidaktahuan para PNS tersebut, ketika PNS mengalami kecelakaan kerja maka proses kuratifnya dibebankan kepada program JKN. Tentunya ketidakseriusan PT. Taspen ini berkontribusi pada peningkatan defisit pembiayaan program JKN. Faktanya, PNS hanya mengetahui kalau mereka sakit termasuk akibat kecelakaan kerja, maka yang menjamin pengobatan mereka adalah BPJS Kesehatan. PT. Taspen yang menerima iuran JKK tapi BPJS Kesehatan yang membiayai PNS yang mengalami kecelakaan kerja. Ini bentuk ketidakadilan bagi BPJS Kesehatan yg dilakukan PT. Taspen.

Iuran JKm bagi PNS
Seluruh iuran JKK JKm bagi PNS Pusat dan Daerah dibayarkan full oleh APBN dan APBD. Para PNS tidak ikut mengiur. Pada awalnya iuran JKm bagi PNS di PT. Taspen adalah sebesar 0,3 persen dari upah PNS, namun sejak lahirnya PP No. 66 Tahun 2017 maka iuran JKm meningkat 0,42 persen (naik lebih dari dua kali lipat) menjadi sebesar 0.72%. Dengan naiknya iuran JKm ini maka saya menilai sudah terjadi inefisiensi atau kelebihan bayar dari APBN/APBD selama ini, yang nilainya bisa mencapai sekitar Rp. 1,2 Triliun per tahun, yaitu dengan perhitungan 6 juta PNS x 12 bulan x 0.42% x rata-rata upah PNS sebesar Rp. 4 juta per bulan.

Tentunya inefisiensi ini akan lebih besar lagi bila program JKm bagi PPPK dan non ASN lainnya diserahkan ke PT. Taspen. Bila saja program JKK JKm PNS ini dikelola BPJS Ketenagakerjaan maka tidak akan terjadi kelebihan bayar dari APBN maupun APBD karena iuran JKm di BPJS Ketenagakerjaan sebesar 0,3 persen.

Di tengah defisit APBN yang terjadi tiap tahun, Pemerintah malah mengeluarkan biaya lebih untuk membayar iuran JKm bagi PNS. Padahal kalau mau jujur, justru BPJS ketenagakerjaan-lah yang selama ini membantu Pemerintah mengatasi defisit APBN dengan mengalokasikan sekitar 58% dana kelolaannya (sekitar Rp. 214.59 Triliun) untuk membeli SBN (Surat Berharga Negara), sementara PT. Taspen hanya mengalokasikan 30% dana kelolalaannya untuk membeli SBN.

Saya kira dengan ketidakseriusan PT. Taspen mengelola JKK JKm, terjadinya defisit JKN karena PNS menggunakan JKN ketika mengalami kecelakaan kerja, dan adanya kelebihan bayar dalam pembiayaan JKm, maka sudah saatnya Pemerintah meninjau ulang seluruh PP yang mengatur pengelolaan JKK JKm bagi PNS kepada PT. Taspen, termasuk rencana pengelolaan JKK JKm bagi PPPK serta Non ASN lainnya kepada PT. Taspen.

Saya menduga Presiden Jokowi sudah dipermainkan oleh para pembantunya di Kemenkeu, Bappenas, Kemenpan RB, dan Kemeneg BUMN yang memang selama menginginkan JKK dan JKm bagi ASN dikelola PT. Taspen, sehingga jaminan sosial bagi ASN tidak berjalan dengan baik dan terjadi inefisiensi pembiayaan dari APBN/APBD. KPK harus turun tangan terkait masalah inefisiensi APBN/APBD ini.
Sudah seharusnya JKK dan JKm ASN (PNS dan PPPK) dan Non ASN dikelola BPJS Ketenagakerjaan sehingga seluruh program jaminan sosial sesuai dengan UU SJSN dan memberikan manfaat yang lebih baik lagi kepada seluruh pekerja di Indonesia.

Timboel Siregar:
Koordinator Advokasi BPJS Watch/Sekjen OPSI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here