38 Ribuan Anak seketika menjadi Yatim atau Piatu dikarenakan Salah satu atau kedua orang tuanya meninggal dunia akibat Pandemi Covid-19 , tentu saja beban penghidupan mereka harus diambil alih oleh Negara sesuai Amanat Undang-undang Dasar 1945. Negara harus hadir mengatasi persoalan ini dengan serius agar tidak terjadi keterlantaran terhadap mereka terutama dari Aspek Kesehatannya. Adalah Jaminan Kesehatan Nasional untuk Anak adalah Jawaban dari permasalahan mendesak ini.
Masih teringat dipikiran kita semua Kasus yang dialami Ananda Muhammad Rizky Akbar yang tidak mendapatkan pelayan yang baik dari beberapa Rumah Sakit hingga akhirnya meninggal dunia merupakan kasus berulang yang terus terjadi, dan sepertinya Rumah Sakit dan BPJS Kesehatan tidak mau memperbaiki dan meningkatkan pelayanannya terkait kasus kasus seperti ini.
Peristiwa yang terjadi Pada Tahun 2016 sontak menarik keperdulian BPJS WATCH, Setelah membaca kronologis yang disampaikan pihak BPJS Kesehatan dan pemberitaan media, BPJS Watch menilai kejadian ini sebagai bentuk kelalaian riil Rumah Sakit- Rumah Sakit tersebut dan BPJS Kesehatan. Hak pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik ternyata tidak diberikan RS dan BPJS Kesehatan.
Menurut BPJS WATCH pihak Kemenkes harus menginvestigasi Rumah Sakit – Rumah Sakit yang didatangi si pasien JKN ini karena tampak adanya ketidakseriusan dalam penanganan. Ada indikasi kuat pembiaran oleh Rumah Sakit – Rumah Sakit tersebut kepada ananda Rizky. Kemenkes harus berani memberikan sanksi pada RS RS tersebut. RS Harapan Kita sebagai Rumah Sakit Pemerintah untuk Jantung dan memiliki fasilitas kesehatan dan dokter spesialis yang mumpuni ternyata tidak memberikan pelayanan yang maksimal. Ini harus diinvestigasi lebih khusus oleh Kemenkes.
Untuk BPJS Kesehatan, menurut BPJS WATCH pihak BPJS Kesehatan harus bertanggungjawab juga atas permasalahan ini.
Kenapa?
Ya karena keluarga pasien peserta JKN ini mencari cari Rumah Sakit yang mau dan bisa menanganinya si anak tanpa mendapatkan bantuan dari BPJS hingga akhirnya si anak di bawa ke Rumah Sakit Eka Hospital yang tidak bekerja sama dengan BPJS kesehatan dan harus membayar secara pribadi. Ini kelalaian nyata BPJS Kesehatan untuk membantu pasien JKN dalam mencari Rumah Sakit yang bersedia merawat si anak.
Pelanggaran hak pasien JKN di Rumah Sakit dikontribusi oleh kecurangan Rumah Sakit dan ketidakmauan BPJS untuk membantu pasien di Rumah Sakit
BPJS WATCH sudah selalu meminta agar BPJS Kesehatan membuka desk pelayanan di RS RS 7 hari 24 jam dan memiliki jaringan on line 24 jam ke seluruh RS yang menjadi provider BPJS. Desk Pelayanan 24 jam 7 hari dan sistem on line ini akan sangat membantu pasien JKN dalam mencarikan dan mendapatkan RS yang bisa melayani pasien JKN secara langsung tanpa harus lagi pasien dan keluarganya mencari cari RS. Kalau sistem ini ada maka Ananda Muhammad Rizky akan bisa tertolong. Berharap dari hotline service 1 500 400 tidak akan signifikan membantu pasien di RS. Pasien JKN butuh bantuan cepat dan pasti dari BPJS Kesehatan. Relasi pasien dan RS adalah subordinat, tidak equal dan oleh karenanya BPJS Kesehatan harus membantu pasien di RS RS.
Kalau itu BPJS WATCH meminta Presiden Jokowi memerintahkan Kemenkes melakukan investigasi dan penyelidikan atas masalah ini, dan meminta agar Presiden Jokowi menegur Direksi BPJS kesehatan yang lalai dalam membantu pasien JKN. Ini kasus merupakan perulangan yang terjadi di RS RS.
Untuk keluarga pasien, BPJS WATCH mendorong agar keluarga pasien mau menggunakan Pasal 48 – 50 UU no. 24 tahun 2011 tentang BPJS yaitu dengan mensengketakan BPJS kesehatan melalui pengadilan. Upaya ini adalah untuk mengingatkan BPJS agar bekerja serius membantu pasien JKN. Dan tentunya keluarga pasien juga mau mensengketakan RS RS yg telah lalai tersebut ke jalur hukum. Hal ini sdh kesekian kalinya terjadi. Dan semoga dengan upaya kekuarga mensengketakan masalah ini kasus pembiaran pasien tidak terjadi lagi.
Dasar hukum adanya pelanggaran yang dilakukan BPJS kesehatan adalah pasal 22 ayat 1 UU 40 tahun 2004 ttg SJSN yang menyatakan Manfaat Jaminan Kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa, salah satunya, pelayanan kuratif. Dan Pasal 24 ayat 3 UU 40 tahun 2004 ttg SJSN yang memerintahkan BPJS mengembangkan sistem pelayanan kesehatan dan sistem kendali mutu pelayanan.
Kasus Ananda Rizly ini terjadi karena BPJS Kesehatan tidak memastikan RS RS tersebut melakukan pelayanan kuratif dengan baik dan maksimal, dan BPJS Kesehatan tidak mengembangkan sistem pelayanan kesehatan dan sistem kendali mutu pelayanan kesehatan. Kehadiran BPJS Kesehatan 7 x 24 jam di RS RS yang menjadi provider BPJS kesehatan dan adanya sistem on line antar RS yang dikelola BPJS kesehatan sehingga pasien bisa dicarikan RS yang akan merawat pasien JKN, merupakan salah satu implementasi perintah mengembangkan sistem pelayanan kesehatan dan sistem kendali mutu pelayanan kesehatan.
Direksi BPJS Kesehatan tidak melakukan amanat pasal 22 ayat 1 dan Pasal 24 ayat 3 UU 40 tahun 2004 tersebut pada kasus ananda Rizky ini.
Oleh sebab itu karena BPJS lalai melaksanakan Pasal 22 ayat 1 dan pasal 24 ayat 3 UU 40 tahun 2004 maka keluarga Pasien Rizky berhak menggunakan Bab XII pasal 48 sampai 50 UU 24 tahun 2011 tentang BPJS.
Proses sengketa dimulai di pasal 48 yaitu keluarga pasien melakukan pengaduan atas masalah yang ada ke BPJS Kesehatan. Pihak BPJS wajib menangani pengaduan paling lama 5 hari kerja sejak pengaduan diterima.
Bila pengaduan yang disampaikan ke BPJS tidak dapat diselesaikan maka keluarga pasien dapat mengajukan penyelesaian sengketa ini melalui mekanisme mediasi yaitu via mediator yang disepakati kedua belah pihak. Proses mediasi paling lama dilakukan 30 hari kerja. Ini perintah Pasal 49.
Bila proses mediasi pun gagal maka keluarga pasien dapat mengajukan ke pengadilan negeri di wilayah tempat tinggal pemohon. Ini amanat Pasal 50.
BPJS Watch dorong masyarakat peserta JKN bisa menggunakan mekanisme pasal 48 sampai pasal 50 bila BPJS kesehatan lalai menjalankan amanat Pasal 22 ayat 1 dan Pasal 24 ayat 3 UU 40 tahun 2004.
Mekanisme ini belum tersosialisasi ke masyarakat peserta JKN sehingga masyarakat Peserta JKN terus jadi korban, dan BPJS Kesehatan merasa benar terus sehingga tidak mau memperbaiki dan meningkatkan pelayanannya.
Kami turut berbela sungkawa, semoga Ananda Rizky diterima disisi NYA dan keluarga diberi kekuatan, dan semoga kasus ini tidak terjadi lagi.
Kasus 31 Agustus 2016 sangat dikhawatirkan berdampak kepada 38.000 Anak yg kehilangan Orang Tuanya selama Pandemi Covid-19 berlangsung
Ada sekitar 38 Ribuan anak kehilangan Orang Tuanya meninggal akibat COVID-19 dan ketika kita meminta pemerintah menanggung iuran JKN Anak(Non PBI) tersebut dijawab oleh salah seorang pejabat Lha Pemerintah Cq Bappenas saja sekarang berniat menurunkan jumlah PBI yang saat ini kuotanya 96,8 juta orang.
Per tahun 2020.Kepesertaan Anak di JKN menurun sebanyak 1,56 juta orang dibandingkan Tahun 2019. Kalau Anak Yatim tersebut tidak dijamin pemerintah maka jumlah peserta JKN Anak akan menyusut banyak. Kalau mereka tidak dijamin bagaimana nasib kesehatan mereka.
Kita harus perduli persoalan ini dan harus menjadi bagian dari perjuangan Serikat Buruh/Serikat Pekerja saat ini.
Redaksi SBSINEWS
26 Agustus 2021