Oleh: Freddy Numberi
WILAYAH Tanah Papua (WTP) menjadi ajang politik kekerasan, sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 antara Belanda dan Indonesia. Indonesia adalah koloni Belanda dalam wilayah kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda (Nederlands Indië) setelah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) runtuh pada 31 Desember 1799.
Kemudian diduduki oleh Jepang pada 8 Maret 1942. Indonesia menyatakan kemerdekaannya setelah Jepang dikalahkan dalam Perang Dunia II, pada 9 Agustus 1945.
Sebagai bekas penjajah Indonesia, Belanda berusaha keras mempertahankan kekuasaannya atas Indonesia.
Setelah serangkaian negosiasi, pada 2 November 1949 Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Pada 27 Desember 1949, Belanda mentransfer kekuasaannya kepada RIS; namun status WTP sesuai Naskah Piagam KMB pasal 2 (e) dipertahankan dengan azas menyelesaikan semua sengketa. Dan WTP dinyatakan status quo selama satu tahun untuk dibahas kembali.
Sejak awal, konflik kekerasan politik di WTP antara Belanda dan Indonesia bermuara dari proses politik KMB ini, karena menurut Indonesia, status WTP tersebut adalah bagian dari Indonesia yang baru dimerdekakan.
Pada 21 Agustus 1956, Belanda merubah konstitusinya (Grondwet) dan memasukkan Nieuw Guinea (Guinea Baru) kedalam Kerajaan Belanda sebagai salah satu provinsi Belanda di seberang lautan.
Dalam proses politik kekerasan yang terjadi, Belanda merubah nomenklatur koloni ini menjadi Nederlands Nieuw Guinea pada tahun 1957.
Nomenklatur ini tentunya memiliki implikasi kepentingan politik Belanda terhadap wilayah koloni ini.
Pada 18 November 1961, Gubernur Nederlands Nieuw Guinea, Pieter J. Platteel mengeluarkan edaran bahwa provinsi ini dapat memiliki bendera dan lagu yang menjadi simbol kultural rakyat yang mendiami koloni ini sesuai dengan Ketetapan Gubernur No. 68 Tahun 1961.
Bendera ini agar dikibarkan serentak pada 1 Desember 1961 di wilayah koloni ini. Politik Belanda ini berdampak pada dimensi politik kekerasan yang terjadi hingga saat ini.
Dinamika Politik Kekerasan
Sepanjang tahun 1950-an, Presiden Soekarno mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar Belanda ditekan untuk menyerahkan Papua kepada Indonesia, namun tidak berhasil.
Bung Karno memutuskan untuk menghadapi Belanda dengan cara frontal, yakni membatalkan perjanjian KMB secara sepihak pada tahun 1956 melalui kabinet Ali Sastroamidjojo II. Namun, pemerintah masih mengusahakan perjuangan diplomasi melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Hasilnya, Indonesia kembali gagal memperjuangkan kembalinya Papua ke dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Sidang Umum PBB dibulan November 1957.
Setelah usahanya gagal di PBB, tahun 1957, Bung Karno lalu mengambil tindakan represif dengan mengusir warganegara Belanda dan perusahaan Belanda yang ada di Indonesia dinasionalisasi.
Tahun 1961, Bung Karno kembali mengusir Belanda secara paksa dengan menerjunkan pasukan payung di beberapa tempat di WTP. Hal ini memiliki dampak politis yang luar biasa. Dengan tekanan yang juga dilakukan pemerintah AS, Belanda akhirnya menyerahkan Papua kepada PBB melalui New York Agreement pada 15 Agustus 1962, yang selanjutnya pada 1 Mei 1963, melalui UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority), PBB menyerahkan Papua kembali ke NKRI.
Melalui Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 yang diwakili 1.022 orang, Papua dikukuhkan sebagai bagian dari NKRI dan disahkan pada 19 November 1969 dalam Sidang Umum PBB melalui Resolusi No. 2504 (XXIV) meskipun hanya taken note.
Suatu perjalanan panjang yang sangat melelahkan dan berdarah-darah bagi orang Papua yang mendiami wilayah koloni ini, sejak 24 Agustus 1828 hingga 19 November 1969. Wilayah koloni ini sarat dengan politik kekerasan dan konflik kepentingan Belanda, AS, PBB maupun Indonesia.
Korban Politik Kekerasan
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia, mengatakan: Papua adalah salah satu lubang hitam Indonesia untuk “hak asasi manusia”, Kegagalan oleh negara untuk memastikan investigasi yang cepat, independen dan efisien, dalam pembunuhan tidak sah, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang terpisah.
Papua adalah korban dari politik kekerasan sejarah masa lalu dan sejak 1 Mei 1963, dan masih terus berlangsung hingga kini (55 tahun).
Harapan masyarakat Papua kepada pemerintah melalui Presiden RI Ir. Joko Widodo, bahwa kita harus lebih berhati-hati dan sangat selektif dalam mengerahkan operasi militer pada masa damai untuk mendukung pihak POLRI dalam rangka penegakkan hukum (law enforcement).
Refleksi kritis dari pengalaman-pengalaman politik kekerasan masa silam yang masih terus bergulir hingga saat ini dan entah kapan akan berakhir. Yaitu tuntutan keluarga korban terhadap pelanggaran HAM seperti kasus Tanjung Priok Berdarah (12 September 1984), Semanggi Berdarah (12 Mei 1998). Kemudian Biak Berdarah (6 Juli 1998), Abepura Berdarah (7 Desember 2000), Wasior Berdarah (April-Oktober 2001). Juga pembunuhan Theys Eluay (10 November 2001), Wamena Berdarah (4 April 2003). Lalu pembunuhan aktivis pembela HAM Munir (7 September 2004), dan lain-lain.
Peristiwa-peristiwa tersebut, akan menjadi beban sejarah bagi setiap Rezim Pemerintah yang silih berganti, karena telah menjadi ingatan kolektif keluarga korban.
Manusia pasti mati karena hal itu adalah kodrat Illahi. Namun ingatan kolektif keluarga korban yang kehilangan anaknya atau ayahnya, atau ibunya, maupun kehilangan anggota keluarga lainnya akibat politik kekerasan, akan terus hidup. Hal itu, bagaikan duri dalam daging, dan tak akan pernah sirna.
Mikhail Gorbachev, Sang Tokoh Glasnost (Keterbukaan) dan Perestroika (Perubahan) Rusia, serta peraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1990, dalam bukunya “The Road We Travelled – The Challenges We Face” mengatakan ”Peace is not unity in similarity but unity in diversity, in the comparison and conciliation of differences. And, ideally, peace means the absence of violence.
8 Januari 2019
Freddy Numberi: Sesepuh Masyarakat Papua.