Istri saya datang dari keluarga yang sangat sederhana. Iriana adalah sahabat baik adik saya. Ia sering main ke rumah kami dulu di Solo dan lama-kelamaan saya jatuh cinta padanya.
Sekilas Iriana tampak seperti perempuan yang tidak tegar jika dihadapkan pada dunia politik yang keras dan penuh cercaan. Tapi, sebetulnya ia adalah perempuan yang teramat sangat kuat.
Kekuatan Iriana sudah terbukti sejak kami mengarungi tahun – tahun awal biduk rumah tangga. Tanpa banyak bicara dan keluhan, ia mendampingi saya bekerja di hutan pedalaman Aceh.
Saya berani bertaruh, jarang perempuan yang mau berada di dalam kehidupan seperti itu. Tinggal di barak di dalam hutan sepanjang hari, menanti suami yang tengah bekerja di belantara rimba.
Sementara itu, di barak kehidupan sangat monoton. Kamar tidak luas. Dapur yang ada hanya satu dan dipakai beramai-ramai. Kamar mandi juga dipakai bersama pekerja lain.
Tak ada pasar yang bisa membuatnya asyik memasak ini dan itu. Sementara mau jalan-jalan, hendak ke mana?
Suara binatang buas atau sekadar babi hutan saja bisa membuat diri bergidik. Bayangkan, ia melewati kehidupan seperti itu selama dua tahun.
Tiada keluhan sama sekali, Iriana telah membuktikan kesetiaan dan pengertiannya terhadap saya dan karier yang saya jalani. Ia melebur masuk ke dalam diri saya tanpa syarat. Cintanya begitu murni dan kuat.
Itu sebabnya selalu saya wanti-wanti ke dalam diri, jangan sampai ia merasa tersakiti atau tersiksa karena karier saya. Sebab ia telah begitu mulia membuktikan pendampingannya yang luar biasa di sisi saya.
Yang saya kagumi, ia begitu luwes bisa menyesuaikan diri dengan lika-liku perjalanan karier saya. Ketika saya kerja di hutan, ia bisa menyesuaikan, mengenyahkan rasa takutnya dan membangun ketegaran. Ketika saya masih menjadi tukang di bengkel kayu kecil, ia juga ikhlas mendengar suara berisik ketika saya menyerut kayu hingga lewat tengah malam dan ruang tamu kami yang penuh debu serbuk bekas gergaji.
Ketika saya membangun pabrik mebel, ia juga bisa menyesuaikan diri. Sampai menjadi wali kota, ia pun mampu membangun dirinya untuk bisa berperan baik sebagai istri wali kota.
Bahkan ketika saya maju ke pilkada DKI Jakarta, ia juga bisa mengantar dirinya untuk masuk ke dunia baru dengan ujian yang luar biasa. Pilkada DKI Jakarta sangat keras. Penuh dengan serangan politik dalam aneka bentuk. Jika mental tidak kuat, pasti akan menyerah. Tapi Iriana tangguh.
Semua tahapan itu rupanya terus memperkuat mentalnya. Sehingga ketika saya menjadi Presiden, Iriana telah menjelma menjadi perempuan yang teruji oleh pengalaman. Ia sangat kuat membaca postingan atau hoaks berisi fitnah tentang saya. Ia juga tak emosi ketika membaca tulisan-tuilisan yang mencemooh atau menghina saya dan keluarga.
Sikap Iriana sangat menenteramkan hati saya. Sebab itulah sesungguhnya yang sangat saya khawatirkan, yakni dampak politik terhadap kedamaian keluarga. Nyatanya justru Iriana yang menyumbang perasaan damai terhadap diri saya. Betapa ia sosok yang luar biasa.
Status menjadi Ibu Negara juga tidak membuat Iriana keblinger. Ia tidak serta merta mengarahkan dirinya untuk menjadi sosok yang memancing sorotan atau mengambil porsi khusus yang mengandung power.
Tidak, Iriana tetap menjadi dirinya sendiri. Ia seorang ibu rumah tangga yang sederhana. Sehari-hari jika berada di rumah ia mengenakan daster. Memasak, menyapu, dan bebenah. Tak ada yang berubah. Ia hanya mendampingi saya di berbagai acara, baik di Jakarta, luar kota, maupun luar negeri, jika kehadirannya memang dibutuhkan. Ada acara tertentu yang memang tidak mengundang Ibu Negara. Mayoritas kunjungan kerja saya tidak didampingi Iriana karena memang urusannya hanya meninjau proyek.
Ia sangat mengerti bahwa jabatan Presiden merupakan tanggung jawab yang berat. Bukan simbol kedudukan mahatinggi yang boleh membuatnya berubah arogan.
Bahwa Iriana tetap menjadi dirinya dengan karakter yang tak berubah juga merupakan bukti kekuatan dirinya menghadapi perubahan hidup kami. (Andi Naja)