Orang Thailand, dan India itu sama seperti orang Indonesia. Engga masak kalau engga ada cabe. Hampir semua menu makanan selalu ada cabe perasa pedas. Pernah tahun 90an ada agro industri di Thailand mencoba membat cabe tepung. Apa alasannya? Karena cabe itu mudah sekali dimakan bakteri kalau sudah dipanen. Hanya dua hari sudah busuk dan kadarnya rusak. Posisi petani sangat lemah. Lambat jua, barang jatuh kualitas. Ketika panen, harga jatuh. Dengan adanya industri powder chili diharapkan masalah paska panen cabe dapat diatasi. Chili powder dengan teknologi packing bisa bertahan 1 tahun di dalam gudang. Berapapun produksi petani dapat diserap pabrik dengan harga stabil.
Apa yang terjadi? Ternyata powder chili itu tidak diterima pasar. Dilidah konsumen chili powder, rasa cabe berkurang. Pabrik itu tutup. Kemudian tahun 2000an, berdiri pabrik pengolahan cabe dengan tekhnoloi pengeringan menggunakan cold drier. Artinya tidak dikeringkan dengan pemanas ( blower ) tetapi dengan dingin tinggi. Kadar air cabe akan mendekati nol. Setelah itu digiling dengan mesin yang menjamin higines. Hasilnya keluar powder chili. Rasa pedas dilidah dan unsur vitamin tidak berkurang. Dengan tekhnologi packing, bisa tahan 1 tahun dalam distribusi dan stock
Kemudian pabrik berusaha mendidik konsumen agar beralih kepada Powder chile. Lambat laun di Thailand dan India, sekarang chili powder diterima luas. Karena memang rasa dan aroma sama. Setelah industri pengolahan cabe berdiri, harga tidak lagi turun naik. Tetapi naik terus mengikuti trend penjualan powder chili. maka tanaman cabe menjadi bagian dari industri supply chain. Petani tidak lagi bertanam secara tradisional tetapi estate farm. Menggunakan rumah kaca agar tidak terpengaruh dengan musim. Petani makmur dan pabrik mencetak laba.
Di India sekarang ada 1500 unit industri pengolahan cabe kelas menengah. Yang besar ada 25 perusahaan, bukan hanya mengolah cabe tetapi hampir semua rempah diolah dengan tekhnologi semacam itu. Keringkan, giling dan packing. Distribusikan. Di Thailand, China, Korea, Jepang perkembangan Industri chili powder berkembang pesat. Karena ia juga menjadi supply chain Industri makanan olahan, seperti mie instant, dan lain lain.
Yang menyedihkan adalah Indonesia dari sejak mbah Harto sampai sekarang, masalah cabek ribut terus. Panen petani menjerit, harga jatuh. Engga panen konsumen menjerit, harga kemahalan. Solusi tidak ada. Padahal tekhnologi pengolahan cabek itu mudah. Saya punya di Thailand bersebelahan dengan pengolahan Pasta Jelyfish. Mau tahu betapa harga chili powder 1 KG ? USD 3000 per ton ( tergantung varietas cabe) atau Rp. 42.000/KG. Rendemen 50%. Jadi setara harga jabe mentah Rp. 21.000/ Kg. Di Thailand gross margin pabrik chili powder 50%. Di China mencapai 70%. Mengalahkan laba pabrik pharmasi yang butuh modal raksasa.
Walau kita sudah menjadi anggota G20, walau ada ribuan insinyur pertanian dihasilkan oleh kampus terbaik negeri ini tapi pertanian kita masih dikelola dengan cara tradisional. Sementara kemarin ditengan surplus panen cabe petani, pemerintah memberi izin impor cabe powder chili 27.851 Ton untuk industri makanan. Ya untuk jadi supply chain industri makanan saja kita gagal mandiri. Gimana mau bicara supply chain hitech?.
Agar pabrik pengolahan cabe bisa berkembang, pemerintah harus mengubah bertanam dari tradisional menjadi estate farm. Karenanya perlu regulasi dan keberpihakan pemerintah. Contoh, pemerintah memberikan insentif kepada industri makanan kalau mereka beli Chili powder dari lokal. pemerintah memberikan Insentif kredit untuk estate farm, memberikan bibit cabe yang berkualitas sesuai pasar. Dll Semoga ini menjadi perhatian pemerintah sekarang. Bagaimana membangun dengan cara yang modern.
Penulis
Wawan Supandi
Aktivis Holtikultura