Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh, adalah impian yang ditancapkan oleh generasi hari ini untuk masa depan Indonesia.

Sebagai sebuah impian, jika saya meminjam perspektif Prof. Yudi Latif (beliau adalah bisa dinilai sebagai pakar Pancasila), sulit terwujud apabila warga negara dan terutama elit negara masih banyak yang lebih berorientasi “the love of power” (cinta kekuasaan) daripada “the power of love (kekuatan cinta).

Para pahlawan bangsa dan/atau founding fathers telah mengajarkan kesadaran spiritual dan mental psikologis yang bisa dipandang dan dimaknai sebagai modal atau energi utama mencapai kemerdekaan. Dalam alinea ketiga Pembukaan UUD NRI 1945 secara tegas modal atay energi tersebut disebutkan, “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa” dan “dorongan keinginan luhur”.

Idealnya kesadaran ini terus mewarnai perjalanan kehidupan bangsa dan negara Indonesia sampai hari ini, agar bukan hanya pencapaian kemerdekaan tahun 1945 itu yang diraih dan dirayakan setiap tahun, tetapi dari hari ke hari, lahir dan dicapai kemerdekaan-kemerdekaan baru, termasuk mampu memerdekakan diri sebagai anak bangsa dan elit negara, minimal terjadi transformasi dari “the love of power” menjadi “the power of love”.

Sesungguhnya Pancasila sebagai “meja statis” di mana bangunan ke-Indonesia-an dikonstruksi di atasnya, dan sebagai “leitstar dinamis” telah cukup menjadi modal sebagaimana tesis John Gardner—yang saya sederhanakan bahasanya ini—“suatu bangsa harus memiliki dan mempercayai sesuatu yang mengandung dimensi-dimensi moral untuk menjadi besar”. Dan yang oleh Soekarno menyebutnya sebagai “konsepsi dan cita ideal yang harus dimiliki agar bangsa itu tidak dalam keadaan bahaya’.

Dan berdasarkan yang saya pahami, jika masih ada anak bangsa yang menggerogoti Pancasila atau berniat menggantinya, sesungguhnya si “dia” masih perlu banyak belajar tentang konsep diri yang saya rumuskan sendiri, minimal itu saja, sebelum yang lainnya.

Pancasila tidak bertentangan dengan agama (khususnya Islam), karena Pancasila adalah “titik temu” dari keragaman, termasuk keragaman agama. Dan Islam memiliki kesadaran penuh akan keragaman, sehingga bisa dipandang menolak keragaman, khusunya untuk konteks Indonesia sama saja menolak takdir ilahi.

Bangsa ini telah meletakkan fundamen moral sebagai posisi utama daripada fundamen politik dan kemanusiaan, ini tergambar dari pergeseran posisi sila “ketuhanan” yang sebelumnya berada pada sila kelima menjadi sila pertama.

Sudut Pustaka Pribadiku “Cahaya Inspirasi”, Ahad, 15 April 2021.

Penulis
Agusliadi
Kontributor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here