SBSINews – Indonesia menghadapi tantangan di tengah tren global melemahnya supremasi hukum dan bangkitnya otoritarianisme akhir-akhir ini.

Kerja keras diperlukan untuk memperbaiki kinerja penegakan hukum yang cenderung berjalan di tempat, terutama untuk menurunkan angka korupsi serta mewujudkan sistem peradilan pidana yang efektif, bersih, imparsial, dan mampu memunculkan efek jera.

Indeks Penegakan Hukum (Rule of Law Index) 2019 yang dirilis World Justice Project (WJP) di Amerika Serikat, pada Kamis (28/2/2019) malam waktu Indonesia bagian barat, menunjukkan Indonesia mengalami stagnasi performa penegakan hukum selama lima tahun terakhir. Sejak 2014, skor Indonesia tidak meningkat, yaitu di angka 0,52. Dengan skala 0-1, semakin besar nilai indeks, semakin baik kondisi penegakan hukumnya.

WJP menakar kondisi supremasi hukum suatu negara berdasarkan delapan faktor, yaitu aspek pembatasan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional, ketiadaan korupsi di sektor pemerintah, keterbukaan pemerintah, pemenuhan hak-hak dasar warga, ketertiban dan keamanan, penegakan undang-undang, keadilan sipil, dan sistem peradilan pidana.

Meski secara keseluruhan stagnan, Indonesia tercatat sedikit membaik di aspek pembatasan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional. Sejak 2014 sampai 2018, posisi Indonesia selalu stagnan di skor 0,64. Tahun ini, skor itu meningkat sebanyak 0,02 poin menjadi 0,66.

Faktor pembatasan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional itu diukur lewat efektivitas peran lembaga legislatif, peradilan, masyarakat sipil, dan pers, dalam mengawal kekuasaan pemerintah serta pemberian sanksi jika aparat pemerintah melakukan pelanggaran. Selain itu, lewat terwujudnya pergantian kepemimpinan dan transisi kekuasaan yang sesuai aturan dan konstitusional.

Kendati demikian, perfoma Indonesia di aspek lainnya masih buruk. Ini misalnya tampak dalam aspek menurunkan angka korupsi di sektor pemerintah dan menegakkan sistem peradilan pidana yang efektif, bersih, imparsial, serta memunculkan efek jera.

Meskipun ada peningkatan di kedua indikator itu, tetapi capaiannya tidak terlalu signifikan. Di aspek penurunan angka korupsi, Indonesia mendapat skor 0,38 atau naik 0,01 poin dari sebelumnya. Sementara, di aspek sistem peradilan pidana, skornya 0,37, naik 0,02 poin dari sebelumnya.

Peneliti Indonesian Legal Roundtable Erwin Natoesmal Umar saat dihubungi di Jakarta, Jumat (3/1/2019) mengatakan, masih banyak hal yang perlu dibenahi dari sistem penegakan hukum di Indonesia. Meskipun kondisinya sedikit lebih baik dari negara lain, tetapi kondisi Indonesia sebenarnya sangat rentan karena tidak banyak perkembangan selama dua tahun terakhir.

Dari skor indeks tahun ini, Indonesia memang membaik dalam hal mengawal kekuasaan pemerintahan secara konstitusional dan menjatuhkan sanksi bagi aparat pemerintah yang melakukan pelanggaran. Namun, ujar Erwin, peningkatan itu tanggung, karena di sisi lain, pencegahan dan pemberantasan korupsi belum efektif. Korupsi di sektor pemerintahan masih banyak ditemukan.

Sistem peradilan pidana juga tidak terbangun dengan baik. Masih banyak aparat penegak hukum yang justru terlibat kasus korupsi, dapat disuap, serta keputusan peradilan yang imparsial dan diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu.

“Jadi, posisi saat ini sebenarnya rentan. Posisi Indonesia seolah terbantu karena arah angin global mayoritas memburuk dan mengarah ke otoritarianisme, tetapi tidak ada penguatan supremasi hukum. Ke depan, masih perlu kerja keras untuk membenahi berbagai aspek penegakan hukum kita,” kata Erwin.

Pemilihan Umum 2019 yang akan diselenggarakan 17 April 2019, ujar Erwin, menjadi momentum yang tepat untuk melihat komitmen dan kerangka penegakan hukum para kandidat calon presiden dan wakil presiden ke depan.

Saat ini, ujarnya, baik Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengedepankan visi-misi terkait negara hukum dan reformasi di bidang hukum. Namun, jika ditelisik lebih dalam, dari dokumen visi-misi kedua kandidat, hanya sedikit program aksi yang bisa terukur secara faktual.

“Masih ada 49 hari lagi untuk meneliti sejauh mana komitmen para calon terhadap pembangunan sistem peradilan pidana yang bersih dan komitmen antikorupsi mereka. Jika tidak ada komitmen dan arah pandang yang jelas dari pemimpin baru nanti, kondisinya akan tetap stagnan seperti ini, kita berjalan di tempat,” ujar Erwin.

Menanggapi hasil indeks Rule of Law 2019 tersebut, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang menilai upaya yang dilakukan Indonesia sejauh ini dalam penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi berada di jalur yang tepat. Hanya saja, pergerakannya diakui lambat sehingga hasil yang dicapai belum optimal.

“Perubahan lambat ini perlu dilihat, apakah ada di sisi eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Kalau dikaitkan dengan hasil tersebut, saya melihat perlu penegasan dan komitmen untuk zero tolerance terhadap segala bentuk korupsi dan suap, baik di eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Tidak peduli kecil atau besar. Eksekutif pun tidak hanya di pusat, tapi turun hingga tingkat desa,” kata Saut.

Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC) telah memberikan rekomendasi. Menurut Saut, hal ini dapat dilanjutkan dengan penerapan dan membuat peta jalan yang rinci. Di sisi lain, ia juga berpendapat KPK masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengembangkan inovasi dan bergerak lebih progresif di sisi pencegahan dan penindakan.

Menurut Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti, pekerjaan rumah yang menanti tidak hanya terkait upaya penurunan angka korupsi, tetapi juga dalam konteks pemenuhan hak-hak dasar dan keadilan bagi warga sipil.

Dalam Indeks Rule of Law 2019, skor Indonesia di aspek pemenuhan hak dasar, misalnya hak kebebasan berpendapat, hak kebebasan beragama, dan hak atas perlakuan yang sama, adalah 0,52 atau hanya naik 0,01 dari indeks tahun sebelumnya. Sementara, indikator keadilan bagi warga sipil – seperti akses warga sipil atas perlindungan hukum dan advokasi, kebebasan warga sipil dari diskriminasi, korupsi, dan tekanan – justru menurun dari 0,45 menjadi 0,44.

Pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti mencontohkan, buruknya penegakan hukum dalam konteks hak-hak warga sipil itu dapat dilihat dari implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang banyak memakan korban dan menekan hak kebebasan berpendapat. “Jadi, ke depan masih banyak sekali yang perlu dibereskan, karena penegakan hukum dalam konteks melindungsi hak asasi warga juga masih sangat kurang,” katanya.

Ia mengatakan, pemerintahan saat ini cenderung mempersepsikan penegakan hukum atau konsep negara hukum dalam konteks kemudahan berbisnis atau berinvestasi. Namun, melupakan konteks penegakan hukum untuk melindungi hak-hak dasar warga.

“Negara perlu sadar bahwa hukum seharusnya tidak hanya ramah pada investor dan pengusaha, tetapi juga pada pemenuhan hak-hak dasar warga sipil,” katanya.

Dibandingkan hasil Indeks Rule of Law 2018, meskipun skornya stagnan, Indonesia naik empat peringkat ke posisi 62 dari total 126 negara. Itu karena kondisi Indonesia sedikit lebih baik dibandingkan mayoritas negara lain yang diteliti WJP. Secara global, penelitian WJP menunjukkan tren yang mengarah pada tanda-tanda peningkatan otoritarianisme akibat melemahnya penegakan supremasi hukum di mayoritas negara lain.

Di aspek pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional, sebanyak 61 negara mengalami penurunan, 23 negara stagnan, dan 29 negara lain membaik.

Direktur Eksekutif WJP Elizabeth Andersen mengatakan, dalam dua tahun terakhir, lebih banyak negara yang performa penegakan hukumnya menurun daripada meningkat. Khususnya, dalam hal akuntabilitas kekuasaan pemerintah secara konstitusional.

“Menurunnya performa supremasi hukum, khususnya pengawalan terhadap kekuasaan pemerintah yang semakin melemah, ini sangat memprihatinkan,” ujarnya.

Erwin mengatakan, disandingkan dengan tren global, Indonesia berada di persimpangan arah supremasi hukum. Pemerintahan Jokowi-Kalla selama empat tahun terakhir ini dinilai belum optimal membenahi sistem penegakan hukum dan mempromosikan prinsip negara hukum.

“Dalam peta global, Indonesia di persimpangan, tidak mengarah ke otoritarianisme seperti negara-negara lain, tetapi juga tidak memperkuat semangat rule of law. Ada perbaikan minor terhadap ketaatan pemerintah terhadap hukum, tetapi di sisi lain, korupsi tidak serius diberantas,” katanya.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejatera Nasir Djamil mengatakan, stagnasi kondisi penegakan hukum di Indonesia patut menjadi peringatan bagi elite pemimpin negara dan lembaga penegak hukum.

“Ini menjadi peringatan dan masukan berharga bagi para pengambil keputusan untuk mulai memikirkan secara utuh, ke depan, sistem penegakan hukum kita mau dibawa ke mana, apakah akan terus stagnan seperti ini,” kata Nasir.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS Nasir Djamil
Ia mengapresiasi kerja aparat penegak hukum yang tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Banyak elite yang dulu tidak tersentuh hukum, kini pelanggaran dan kasusnya diusut. Namun, ujar Nasir, upaya penegakan hukum itu tidak diikuti pelembagaan institusi politik, sosial, dan ekonomi secara bersamaan.

Dalam bidang pemberantaan korupsi, misalnya, meski operasi tangkap tangan menjamur dan tanpa pandang bulu menjerat para elite, koruptor tetap bermunculan. “Ini dampak dari konsolidasi reformasi yang tidak tuntas. Pasca orde baru jatuh, semua sistem baik politik, hukum, ekonomi, masih terus diuji coba. Kita ibarat sedang berlari di treadmill. Berkeringat, bergerak, tetapi ternyata tidak ke mana-mana,” kata Nasir.

(Disadur dari Kompas.Id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here