Oleh: Andi Naja FP Paraga
SBSINews – Kebhinnekaan atau pluralisme adalah keniscayaan yang harus diterima dengan dada lapang dan suka cita.
Ketika Agama-agama tumbuh dan berkembang dari tahun ke tahun menjadi keyakinan warga negara maka sesungguhnya menjadi keharusan bagi siapapun untuk menerimanya dengan semestinya.
Justru ketika ada pihak yang tidak menerima keberagaman tersebut dapat menjadi persoalan yang tidak kecil. Misalnya pelarangan peringatan Natal di dua kabupaten di Sumatera Barat, walaupun dengan alasan kesepakatan semua pihak jelas menjadi masalah serius karena membuktikan adanya penolakan kebhinnekaan.
Penolakan kebhinnekaan sesungguhnya adalah penolakan terhadap falsafah dan ideologi negara dan bangsa Indonesia.
Pancasila telah mengakomodir seluruh jenis kebhinnekaan termasuk kebhinnekaan iman atau agama warga negara dan mengakomodir seluruh aspek pengamalan beragama yang ada.
Inilah pekerjaan berat negara melalui pemerintah untuk senantiasa menjamin kebebasan beriman dan beragama dengan semua aspek-aspeknya tak terkecuali pemerintah daerah. Karena itu Pemerintah Daerah yang menyetujui sebuah kesepakatan peniadaan peringatan Hari Natal harus diingatkan peran dan fungsinya kembali sebagai pemimpin dan pembina kebhinnekaan.
Perlu diingatkan kembali berulang-ulang bahwa Indonesia adalah Keluarga Besar sehingga tidak terulang hal yang sama.
Tentu masih teringat betapa panjangnya penderitaan keluarga besar Tionghoa yang baru bisa merayakan Imlek justru ketika KH. Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, dimana bertahun-tahun di era sebelumnya mereka hanya bisa merayakan diam – diam namun penuh ketakutan.
Di Era Reformasi ketakutan seperti itu tidak pantas lagi terjadi karena reformasi menjunjung tinggi hak dasar warga negara antara lain kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan warga negaranya.
Sebagai bangsa yang besar sudah saatnya kita meninggalkan fanatisme yang menghalangi apresiasi kebhinnekaan. Mari kita mendorong keberagaman menjadi kekayaan bangsa. Pemerintah harus didorong untuk berani membenahi persoalan-persoalan yang menghalangi kebebasan ekspresi beragama. Masih banyak yang terintimidasi justru di era kebebasan ekspresi beragama dibuka luas.
Contoh paling miris adalah Ketertindasan Penganut Mahzab Syi’ah di Kabupaten Sampang Madura Propinsi Jawa Timur yang sudah lebih dari 10 tahun menderita. Nasib mereka seperti nasib manusia terbuang yang bahkan tidak dibicarakan dalam pembahasan dan pembumian toleransi dan kebhinnekaan di Tanah Air. Sekali lagi negara mesti hadir sebagai penjamin kebhinnekaan yang sesungguhnya tanpa pilih – pilih.(ANFPP)