Oleh: Dr. Ainur Rofiq al-Amin
Beberapa kali saya ditanya, termasuk baru saja ditanya seorang profesor, apakah anggota HTI ikut pilpres baru saja? Saya jawab berdasar asumsi kuat saya bahwa mereka ikut pilpres berdasar; pertama, mengacu kepada hiruk-pikuknya suara mereka di medsos yang memojokkan Jokowi saat sebelum pilpres hingga saat ini, dan tidak saya temukan satu artikel dari mereka yang mrngkritik lawan Jokowi. Kedua, sekalipun mereka melarang ikut pemilu di sistem yang kufur, tapi saya punya data yang bisa menjadi indikator bahwa terlibat pemilu dibolehkan pada saat tertentu. Bukti tersebut bisa ditelusuri di bawah ini.
Saat HTI belum dibubarkan, banyak pihak baik politisi maupun wartawan, bahkan Rodd Mc Gibbon, Senior Analyst, South East Asia Branch, Office of National Assessment dari Australia dan Gary Anderson, Analis Spesialis Asia Tenggara, khususnya Indonesia, di Departemen Luar Negeri Kanada bertanya kepada juru bicara HTI, Ismail Yusanto tentang kemungkinan berpartisipasi dalam pemilu. Saat itu Ismail Yusanto menjawab bahwa HTI tidak tergoda untuk masuk parlemen. Dengan posisi saat ini, HTI lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan (majalah resmi HTI, Al-Waie, nomor 100 Desember 2008).
Penulis pun yang pernah sebagai aktivis Hizbut Tahrir akan menyimpulkan hal yang sama seperti diungkap Ismail Yusanto. Oleh karena itu, dalam disertasi dan buku yang saya tulis juga menyimpulkan tidak adanya peluang HTI untuk ikut pemilu di Indonesia. Konklusi di atas mengacu kepada doktrin Hizbut Tahrir yang menyatakan bahwa masuk sistem politik non khilafah, sama dengan memperkuat dan memperlama usia sistem kufur tersebut. Padahal sistem politik yang kufur harus dijelaskan kepada masyarakat akan kekufuran dan kebobrokannya, agar masyarakat sadar, bangkit, dan cepat bergerak untuk menumbangkan sistem tersebut dan menggantinya dengan sistem politik khilafah. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam buku panduan wajib HTI, The Methodology of Hizb ut-Tahrir for Change, 1999.
Terlebih lagi dalam kasus pemilu yang terjadi di Indonesia, menurut HTI, anggota parlemen justru terikat dengan sekularisme dan kapitalisme beserta produk hukumnya. Jadi, pemilu yang dilangsungkan di Indonesia tidak bisa diharapkan untuk melakukan perubahan mendasar (Partai Politik dalam Islam, 2008). Dengan demikian, tidak aneh bila Felix Siauw mengatakan, kompromi dengan sistem kufur seperti ikut pemilu adalah penggembosan terhadap perjuangan Islam.
Sekalipun uraian di atas sudah gamblang tentang ketidakterlibatan HTI dalam pesta demokrasi di Indonesia, namun kalau mengikuti sejarah tokoh sentral Hizbut Tahrir, Taqiyuddin an-Nabhani, bisa jadi akan menggeser perspektif di atas.
Pada awal berdirinya Hizbut Tahrir, An-Nabhani pernah mencalonkan diri menjadi anggota parlemen lewat pemilu -tanpa disebutkan di negara mana dia ikut pemilu-, namun dia kalah (majalah resmi HTI, Al-Waie, nomor 75 tahun 2006).
Sangat mungkin apa yang pernah dilakukan tokoh pendiri Hizbut Tahrir walau tidak konsisten dengan doktrin organisasinya, akan dijadikan acuan keabsahan berpartisipasi dalam pemilu bila kondisi memaksa untuk terlibat. Hal tersebut bisa dijadikan indikator awal kemungkinan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia berpartisipasi dalam pemilihan presiden pada tahun 2019.
Narasi di atas semakin dikuatkan dengan membaca beberapa peristiwa mutakhir yang menunjukkan Hizbut Tahrir tidak konsisten dengan ajarannya. Seperti kasus pergolakan Suriah, para aktivisnya ikut berperang. Para tokoh Hizbut Tahrir Indonesia mendukung apa yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Suriah. Padahal dalam ajaran Hizbut Tahrir, perjuangan menegakkan khilafah adalah nir-kekerasan dan non senjata (Manhaj Hizb al-Tahrir fi Taghyir, 2009). Demikian pula dalam kasus pilkada DKI, HTI menunggangi hiruk pikuk pilkada tersebut hingga ke tingkat seperti menjadi timses. Bukti tersebut masih tersimpan dalam jejak digital situs HTI yang telah terblokir.Tentu apa yang dilakukan HTI dalam kasus pilkada DKI bukan merupakan penjabaran dari tiga tahapan strategi wajib dalam penegakan khilafah ala HTI.
Pertama, Hizbut Tahrir di Indonesia dianggap sebagai satu-satunya organisasi terbaik bagi para aktivis Hizbut Tahrir di negara-negara lain. Hizbut Tahrir yang ada di Indonesia telah dicetuskan sebagai bencmark perjuangan bagi Hizbut Tahrir di negara lain, dan cocok untuk menegakkan khilafah di Indonesia. Kalau HTI bubar, maka efek psikologis dan politis bagi para aktivisnya akan besar. Kedua, Hizbut Tahrir mengklaim sebagai gerakan sahih dan terbaik yang sesuai dengan sunnah Nabi, sementara organisasi keislaman yang lain dianggap berbahaya dan merupakan “didikan” penjajah yang akan melunturkan semangat umat.
Dengan demikian, implikasi logisnya, membubarkan Hizbut Tahrir sebagai satu-satunya organisasi yang terbaik dan sahih, sama dengan menentang ajaran Islam. Siapa menentang ajaran Islam, maka harus dilawan secara total dan dihadapi dengan berbagai cara. Upaya melawan pembubaran dengan berbagai cara ini akan dianggap sebagai langkah terakhir dalam kondisi darurat. Darurat adalah kondisi hidup mati yang untuk mempertahankannya bisa melakukan “apapun” sebagai bentuk dari emergency exit strategy agar bisa terus bertahan hidup.
Hemat penulis, HTI berupaya menempuh hal tersebut dengan bukti melakukan banding walau akhirnya ditolak PT TUN, lalu melakukan kasasi juga ditolak. Perlu dicatat, model pengadilan banding maupun kasasi bagi HTI sebetulnya adalah dilarang (Ajhizat Dawlat al Khilafah, 2005). Namun karena dianggap “darurat”, maka dibolehkan.
Tidak hanya naik banding dan kasasi, aktivis HT melakukan kasak-kusuk pendekatan kepada para timses Pilpres 2019 untuk “menjual dan barter” suara. Tidak hanya dari pihak HTI, pihak timses capres juga berpeluang mendekati HTI. Saat pilpres, semua lini suara akan diraup. Semua ceruk suara baik besar maupun kecil akan didekati dan dikais.
Suatu realitas yang sangat dibenci aktivis HTI saat mengkritik partai partai yang ada di Indonesia, termasuk partai PBB pimpinan Yusril Ihza Mahendra yang dianggap melakukan pragmatisme politik.
Kalau dibenci kenapa HTI menempuh hal di atas? Jawabannya kembali ke masalah emergency exit di atas. Saat situasi seperti di atas, yang terjadi hanya satu pihak ingin meraup suara, sementara pihak lain ingin menyelamatkan eksistensi organisasinya. (Sumber: harakatuna.com)
Dr. Ainur Rofiq al-Amin, Dosen Pascasarjana UIN Surabaya