Catatan Pagi
SBSINews – Denny Siregar komplain data pribadinya dibuka ke publik oleh seorang yang diduga karyawan telkomsel. Setelah dilapor ke polisi, ternyata yang membocorkan data adalah pekerja outsourcing. Koq bisa ya pekerja outsourcing memiliki akses ke data pribadi orang di telkomsel? Kan si pekerja bukan karyawan telkomsel. Apa telkomsel nggak khawatir?
Saya saat ini lagi bantu pekerja outsourcing yang bekerja di bagian finance di perusahaan user, pekerja yang punya password dan akses bebas thd data keuangan perusahaan user. Koq bisa pekerja outsourcing dikasih akses bebas terhadap laporan keuangan perusahaan user, padahal pekerja tersebut adalah pekerja perusahaan lain. Apakah perusahaan user tersebut tidak khawatir tentang data keuangan mereka? Ternyata seluruh karyawan perusahaan user ini adalah pekerja outsourcing. Pekerja tetap hanya bosnya saja.
Setahu saya pekerjaan yang berhubungan dengan data dan keuangan adalah pekerjaan inti, yang tidak boleh dioutsourcing. Tapi faktanya ini terjadi. Ini bukti bahwa pengawas ketenagakerjaan di republik ini sangat lemah.
Pemerintah tetap bersikeras untuk meloloskan sistem kerja outsourcing tanpa lagi ada ketentuan pekerjaan inti atau penunjang di RUU Cipta Kerja. Ketentuan Pasal 66 di UU no. 13 tahun 2003 yg mensyaratkan pekerjaan penunjang yg boleh dioutsourcing akan diganti dengan ketentuan pekerja outsourcing bisa diberlakukan utk seluruh jenis pekerjaan. Pokoke semuanya bisa dioutsourcing, sama seperti perusahaan user yg saya ceritakan di atas.
Dampak negatif atas pelaksaanaan outsourcing di seluruh jenis pekerjaan adalah :
- Data-data perusahaan user akan bisa dgn mudah diakses oleh pekerja perusahaan lain. Potensi kebocoran data akan semakin besar.
- Pekerja rentan di PHK, dampaknya data2 tersebut akan mudah terpublikasi oleh pekerja outsourcing yang ter PHK tersebut.
- Potensi terjadinya diskriminasi akan besar mengingat pekerja yang bekerja di perusahaan user akan mengikuti Peraturan Perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan user.
- Pekerja akan sulit berserikat, mengingat rentan di PHK dan perusahaan yang mensuplai pekerja bisa saja memiliki pekerja di bawah 10 orang. Kalau pun memiliki jumlah pekerja lebih dari 10 orang dan tersebar bekerja di beberapa perusahaan maka pekerja tidak saling kenal dan berdampak sulit berserikat. Dampak nyata adalah jumlah SP SB di tingkat perusahaan akan menurun.
- Pekerja akan sulit bernegosiasi. Ini pasti, berserikat aja susah apalagi bernegosiasi. Negosiasi berbasis individu, bukan kolektif. Dampaknya adalah jumlah PKB akan semakin sedikit, apalagi pasal 119 dan 120 UU no. 13 tahun 2003 tetap berlaku dengan adanya UU Cipta Kerja.
- Eksploitasi terhadap pekerja outsourcing oleh perusahaan outsourcing akan semakin massif misalnya upah dipotong utk biaya seragam, pelatihan, dsb. Upah lembur tidak dibayar, dan sebagainya
- Akan lebih banyak pekerja yang tidak didaftarkan di 5 program jaminan sosial. Walaupun tetap diwajibkan, faktanya saat ini saja banyak pekerja outsourcing tidak didaftarkan di 5 program jaminan sosial. Ada kasus, perusahaan user sudah memberikan dana iuran jamsos tetapi tidak dibayarkan ke BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Dengan fakta – fakta tersebut seharusnya Pemerintah coba berpikir ulanglah untuk merevisi pasal 66 tentang outsourcing secara lebih liberal. Perusahaan user dan pekerja akan berpotensi menjadi korban. Pemerintah harus hati hati dan lakukan kajian dengan obyektif, jangan berpikir pendek utk kepentingan segelintir orang.
Dengan kondisi saat ini saja banyak terjadi pelanggaran Pasal 66 tersebut karena pengawas ketenagakerjaan sangat lemah mengawal regulasi, apalagi nanti bila diliberalkan. Selain itu Pemerintah harus membaca kembali putusan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah banyak memutus soal pasal 66 tersebut. Hargai MK dengan segala keputusannya.
Pinang Ranti, 11 Juli 2020
Tabik
Timboel Siregar