8 Mei 1993 tokoh buruh perempuan Marsinah dibunuh, aksi keji ini diduga dilakukan oleh Pengusaha, Serikat Pekerja, dan Aparat Kala itu. Seperti dikutip dari tulisan Appridzani Syahfurullah pada halaman Tirto.id tahun 2021.
Dalam Keputusan Menteri No. 50 tahun 1992 terkait besaran upah minimum, ditetapkan bahwa upah minimum di Privinsi Jawatimur sebesar Rp 2.250 per bulan. Keputusan ini direspons oleh Pemprov Jawa Timur dengan surat edaran Gubernur KDH Tingkat I yang isinya mengimbau setiap perusahaan yang beroperasi di Jawa Timur untuk segera menaikkan upah pekerjanya sebesar 20 persen.
Namun, surat edaran yang seharusnya bersifat mengikat perusahaan, tidak diindahkan oleh PT Catur Putra Surya (CPS) yang beroperasi di wilayah Porong, Sidoarjo. Induk perusahaan ini berada di Jalan Rungkut Industri IV no. 36 Surabaya. Pada April 1993, buruh PT CPS mulai resah karena perusahaan tak kunjung menindaklanjuti surat edaran gubernur. PT CPS tetap menggaji buruh dengan besaran Rp 1.700 per bulan yang jumlahnya masih di bawah standar hidup layak versi pemerintah.
Pada April 1993, buruh PT CPS mulai resah karena perusahaan tak kunjung menindaklanjuti surat edaran gubernur. PT CPS tetap menggaji buruh dengan besaran Rp 1.700 per bulan yang jumlahnya masih di bawah standar hidup layak versi pemerintah.
Merujuk penelitian pamungkas detri nugraha dalam pemogokan buruh pt. catur putra surya porong-sidoarjo tahun 1993 (2013:469),perusahaan tempat marsinah bekerja ini menghasilkan 1,2 juta buah jam tangan, 624 ribu jam dinding, serta 15 juta komponen jam setiap tahun.
Warsa 1990-an, omset pt cps per tahun mencapai $ 2 juta atau sekitar rp 4 miliar, rata-rata komoditas yang dihasilkan adalah produk ekspor.Tingginya omset pt cps tidak lepas dari praktik produksi komoditas ilegal.
Menurut laporan tempo edisi 6 november 1993, selain melakukan kecurangan terhadap buruh, pt cps juga melakukan kecurangan dengan memproduksi barang tiruan dari merek tag heuer dan christian dior, isu pemalsuan ini menguat ketika di pasaran harga jam tangan christian dior buatan pt cps hanya di banderol senilai rp 13.000, sedangkan harga paling murah barang asli jenama tersebut senilai ratusan ribu rupiah.
Marsinah pernah melayangkan surat kepada bos perusahaan PT CPS, Yudi Susanto. Isi surat tersebut mengenai keberatannya terhadap upah kawan-kawan buruh yang di bawah standar aturan pemerintah, sedangkan perusahaan memaksa buruh untuk memproduksi komoditas ilegal.
Surat ini diterjemahkan oleh Yudi Susanto sebagai upaya pemerasan Marsinah terhadap bos PT CPS. Masih menurut laporan Tempo, Marsinah merupakan buruh yang bekerja di induk PT CPS Rungkut Surabaya dan dimutasi ke PT CPS Porong akibat sikapnya yang sangat vokal.
SPSI Tak Berkutik
SPSI Tak Berkutik Orde Baru mengontrol penuh ruang gerak buruh dengan cara melebur organisasi-organisasi buruh dalam satu wadah. Pada 20 Februari 1973 –yang diperingati sebagai Hari Pekerja Nasional–Orde Bagmru Merestui pembentukan FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia). Pada 1985, organisasi ini mengubah namanya menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).
Pada praktiknya, tak jarang SPSI menjadi kepanjangan tangan pengusaha. Sejak 1980, pemerintah Orde Baru mengesahkan konsep hubungan industrial Pancasila yang bertujuan untuk membuat hubungan antara majikan dan buruh menjadi “harmonis”. Konsep ini kerap dijadikan dalih untuk melarang pemogokan dan protes buruh. Seluruh perselisihan buruh-majikan dipaksa untuk diselesaikan secara harmonis.
Menurut Gunarto dalam Rekonstruksi Konsep Kebebasan Hak Berserikat Bagi Serikat Pekerja Pada Hubungan Industrial Berbasis Nilai Keadilan (2010:271), sistem hubungan industrial Pancasila telah menciptakan industrial peace yang semu. Dalam kenyataannya, pengusaha kerap melakukan pendekatan kekerasan dan intimidasi untuk meredam protes buruh.
Kabar buruknya, SPSI di tempat Marsinah bekerja merupakan penyambung lidah perusahaan. Organisasi itu berperan sebagai yes man yang tidak mengakomodasi kepentingan para anggotanya.
Saat itu, Riyanto adalah salah seorang pengurus SPSI di PT CPS Porong. Ia merupakan sosok yang kompromistis dan menjadi jembatan semu antara buruh dan pengusaha. Setelah kematian Marsinah, Riyanto menjadi pentolan pengelola pabrik PT CPS Porong dan merangkap sebagai Ketua Unit Kerja SPSI.
Tak berkutiknya SPSI mendorong para buruh untuk melakukan aksi mogok tanpa melibatkan organisasi tersebut. Sejumlah rapat dilakukan untuk menyiapkan poin-poin tuntutan, di antaranya: kenaikan upah sesuai kebutuhan buruh; tunjangan cuti haid; asuransi kesehatan bagi buruh ditanggung perusahaan; THR satu bulan gaji sesuai dengan imbauan pemerintah; uang makan ditambah; kenaikan uang transport; bubarkan SPSI karena tidak mengakomodasi kepentingan anggota; tunjangan cuti hamil tepat waktu; upah karyawan baru disamakan dengan buruh yang sudah satu tahun kerja; pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan PHK karyawan yang menuntut haknya.
Para buruh melancarkan aksinya pada 3 Mei 1993. Yudo Prakoso selaku koordinator aksi ditangkap dan dibawa ke kantor Koramil 0816/04 Porong, Sidoarjo. Penangkapan ini memecah konsentrasi buruh sehingga aksi pada hari pertama tidak membuahkan hasil.
Esoknya, 4 Mei 1993, para buruh menggelar kembali pemogokan. Aksi hari itu membuahkan hasil: seluruh tuntutan buruh akan dipenuhi perusahaan kecuali pembubaran SPSI yang dinilai tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan.
Kesaksian Bianto
Kesaksian Bianto Bianto adalah salah satu sosok paling sentral dalam aksi mogok di PT CPS Porong, Sidoarjo. Ia merupakan mantan pengurus SPSI cabang Surabaya, yang ia tekuni sejak bergabung pada 1990.
Pada kongres SPSI cabang Surabaya tahun 1992, terdapat perdebatan pandangan yang prinsipil. Ketua cabang SPSI terpilih saat itu, Wasis Gunadi–purnawirawan Angkatan Darat–memutuskan untuk mengeluarkan Bianto karena dianggap terlalu radikal dan tidak taat terhadap instruksi organisasi.
Meski sudah tidak menjadi anggota organisasi pekerja, namun Bianto tetap aktif memperjuangkan nasib buruh. Mendengar pelanggaran sistematis yang terjadi di PT CPS Porong, Bianto langsung bergegas. Ia melakukan pendampingan terhadap buruh PT CPS Porong selama kurang lebih tiga bulan, yang ia lalui dengan cara pulang-pergi Surabaya-Sidoarjo.
Para buruh PT CPS selalu bersiasat di setiap rapat untuk mempersiapkan aksi mogok. Bahkan pernah suatu ketika rapat diadakan di rumah Mutmainah. Dalam rapat tersebut, para buruh berpura-pura mengadakan pesta ulang tahun untuk menghindari kecurigaan RT/RW setempat.
“Jaman Orba aparate lengkap. Kumpul wong papat sampek limo ae kadang ditekani Pak RT, ditakoni ‘acara opo iki?’ makane arek-arek inisiatif pura-pura pesta ulang tahun ae ben gak dicurigai karo warga.”
Zaman Orde Baru aparatnya lengkap. Berkumpul orang empat sampai lima saja terkadang didatangi Pak RT, ditanya ‘acara apa ini?’ makanya kawan-kawan berinisiatif [dengan] pura-pura [mengadakan] pesta ulang tahun agar tidak dicurigai warga.”
Menurut kesaksian Bianto, tidak ada satu rapatpun yang mempersiapkan Marsinah sebagai komando aksi jika Yudo Prakoso mengalami intimidasi dari aparat militer. Marsinah adalah sosok perempuan muda yang paling semangat dan antusias mengikuti rapat yang diadakan oleh buruh.
“Gak onok iku ceritane Marsinah disiapne. Aku ambek arek-arek wes nyiapne kemungkinan terburuk lek seumpama Yudo dijupuk. Tapi sejauh pengamatanku Marsinah iku nduwe semangat.” “Tidak ada itu ceritanya Marsinah dipersiapkan [untuk mengambil alih komando]. Saya bersama kawan-kawan sudah menyiapkan [jika] kemungkinan terburuk [terjadi] Yudo ditangkap [tetapi bukan Marsinah]. Tapi sejauh pengamatan saya Marsinah itu mempunyai semangat,” ujarnya.
Pada 5 Mei 1993, 13 kawan Marsinah dipanggil Kodim Sidoarjo. Mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri dengan dalih tenaga mereka sudah tidak dibutuhkan perusahaan. Bahkan Bianto sempat menuturkan, ancaman kepada buruh tidak hanya soal keberlangsungan karier, tapi juga menyangkut keluarga mereka. Yudo Prakoso pernah bercerita pada Bianto:
“Kamu pilih mundur atau bapakmu yang akan dipecat dari kejaksaan?” tutur Bianto menirukan suara petugas yang mengancam Yudo Prakoso.
Ayah Yudo Prakoso memang bekerja di kantor Kejaksaan di Jombang, Jawa Timur. Akhirnya, Yudo Prakoso dan ketigabelas kawannya yang dipanggil oleh Kodim Sidoarjo menandatangani surat pengunduran diri.
Sepulang dari Kodim, salah seorang dari mereka, Ponidi, langsung mendatangi Marsinah pada pukul 17.00 untuk menceritakan kejadian yang baru saja ia alami. Ponidi terpaksa menyetujui surat pengunduran diri karena ia mengalami intimidasi hebat dari tentara.
Pesan terakhir Marsinah kepada Ponidi adalah ia akan mengadvokasi kawan-kawannya dengan minta bantuan saudaranya yang bekerja di kantor Kejaksaan Surabaya. “Aku akan menuntut Kodim dengan bantuan saudaraku yang ada di Surabaya,” ucap Marsinah.
Pada 8 Mei 1993, tepat hari ini 28 tahun lalu, Marsinah ditemukan tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk, dengan jejak penganiayaan yang parah.
SUMBER : TVNYABURUH.COM