SBSINews – Salah satu agenda utama Presiden Jokowi – Ma’aruf Amin periode 2019-2024 adalah pengembangan sumber daya manusia (SDM). Agenda ini terkait dengan gagasan Presiden Jokowi untuk menuju era digital yang mencakup semua aspek kehidupan. Tujuannya untuk mencapai produktivitas, daya saing dan efisiensi yang tinggi. Namun, saat ini di perguruan tinggi merebak paham radikalisme dan eksklusivisme. Fenomena ini bukan isapan jempol. Terbukti BNPT, dan Setara Institut mensinyalir kampus-kampus Perguruan Tinggi di Indonesia yang terpapar radikalisme. Apalagi awal Oktober 2019, salah satu Dosen Perguruan Tinggi Negeri di Bogor ditangkap aparat kepolisian yang diduga merencanakan aksi kerusuhan.

Merebaknya kasus radikalisme di berbagai perguruan tinggi Indonesia, telah menimbulkan kekhawatiran dari pelbagai pihak. Perguruan tinggi yang mestinya jadi kawah candradimuka untuk mendidik calon-calon pemimpin bangsa. Justru menjadi tempat ajang perkaderan kaum intoleran yang bersifat eksklusif. Ada fakta, mahasiswa kampus negeri di Bogor tahun 2016, mendeklarasikan khilafah. Mirisnya lagi, deklarasi ini berasal dari berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia. Fenomena merebaknya paham radikalisme ini membutuhkan penanganan yang tegas, serius dan kongkrit. Caranya tak bisa lagi dipandang sebelah mata. Hanya sebatas formalisme seolah-olah sudah ada penanganan. Jika dibiarkan, bakal makin membesarkan bak virus yang menggerogoti. Menyikapi hal itu, alumni perguruan tinggi yang datang dari berbagai latar belakang berpendapat:

Imam Masgartha Kurtanegara, Ketua Tim Cyber 01-Jokowi Ma’aruf, berpendapat agar seluruh Rektor Perguruan Tinggi di Indonesia segera “menindak tegas” dan menertibkan mahasiswa, dosen dan tenaga pendidik yang diduga menyebarkan, memfasilitasi berkembangnya paham radikal di kampus. Apalagi, menyeruhkan Khilafah serta anti NKRI yang jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Katanya, “Tindakan mereka itu telah melanggar UU Sistem Pendidikan Nasional, ASN dan Dosen”. Mau tidak mau, dalam Kabinet Jokowi 2019-2024 membutuhkan sosok Menteri Pendidikan Tinggi yang bisa menjalankan agenda ini, ujar Imam di Jakarta.

Senada dengan itu, Herbert Sihombing, Alumni IPB yang bergerak dalam bidang Agribisnis, sepakat dengan ungkapan Imam. Herbert menambahkan, Ia menyoroti perilaku mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan yang menyebarkan kebencian, hoax, fitnah dan persekusi yang marak di media sosial. Seharusnya Rektor semua Perguruan Tinggi tidak boleh membiarkan kejadian semacam ini. Sebab, semua itu melanggar UU ITE. Ia pun mengusulkan sosok Menteri Pendidikan Tinggi yang berani mengembalikan fungsi perguruan tinggi sebagai wadah mempersiapkan SDM yang handal yang bidang IPTEK. Sehingga kami sebagai pengusaha bisa merasakan manfaat kehadiran perguruan tinggi dan lulusannya yang berjiwa nasionalisme tinggi. Jangan sampai Jokowi periode 2019-2024 salah pilih orang. Imbasnya fatal bagi generasi kita ke depan, ujar Herbert Sihombing.

Muhamad Karim, seorang akademisi dan alumni IPB menilai perguruan tinggi di Indonesia saat ini tak bisa lagi dianggap sepele terkait paham radikal. “Dugaan saya sudah bisa dikategorikan “darurat radikal”. Karim yang asli dari Muna Sulawesi Tenggara, mensinyalir penyebaran paham radikal di perguruan tinggi sesungguhnya sudah berlangsung sejak era tahun 1980-an. Saya menilai periode pemerintahan Jokowi 2014-2019 sudah melakukan langkah-langkah strategis untuk memberantas gerakan radikal di Indonesia. Saya berharap periode 2019-2024, Jokowi bisa menuntaskan persoalan ini agar bangsa ini utuh dan tidak mengalami kejadian “Arab Spring”. Karim, melihat ke depan perguruan tinggi mesti ditertibkan dan dibenahi secara komprehensif.

“Saya berharap Pak Jokowi, mesti mengangkat sosok Menteri Pendidikan Tinggi yang bisa menertibkan dan membenahi Perguruan Tinggi”. Akan lebih bagus Pak Jokowi mengangkat Menteri Pendidikan Tinggi dari kalangan yang paham dan berkomitmen memberantas ini. Barangkali, ada baiknya juga Jokowi bisa mengangkat tokoh yang berasal dari Jawa Barat. Soalnya, perguruan-perguruan tinggi negeri yang disinyalir terindikasi sarang radikal lebih banyak di Jawa Barat. Karim, menilai Prof. Dr. Asep Saefuddin, asal Garut yang kini sebagai Rektor Universitas Al Azhar, layak jadi Menteri Pendidikan Tinggi periode 2019-2024”.
Eni Daniarti Saleh, Pamong Budaya Bogor, merasa khawatir dengan maraknya radikalisme di kampus-kampus perguruan tinggi. Eni merasa pendekatan mengatasi radikalisme di kampus lewat pendekatan budaya. “Saya setuju kita sebagai orang beragama sah menjalankan ajarannya di mana pun. Tapi, tidak bisa agama dijadikan alat politik untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan kelompok”. Apalagi, pemikiran agama yang berhaluan radikal terkesan menegaskan budaya. Padahal para wali pada abad 14-15, menyiarkan agama menggunakan pendekatan budaya. Pendidikan pun sejatinya adalah proses kebudayaan, ujar Eni. Ia sepakat dengan Herbert dan Karim perlunya sosok Menteri Pendidikan Tinggi yang kompeten dan berani membebaskan kampus dari penyebaran paham radikal. “Saya sebagai orang Sunda, berharap ke Pak Jokowi mengangkat tokoh pendidikan asal Jawa Barat jadi Menteri Pendidikan Tinggi. Saya nilai Prof. Asep amat layak menduduki posisi itu ujarnya”.

Andjoko, pegiat lingkungan, asli Jawa Tengah, miris juga melihat situasi Pendidikan Tinggi saat ini. Ia pernah mengenyam pendidikan tinggi di IPB. Katanya; “Saya prihatin dengan kejadian waktu lalu yang menimpa dosen IPB, yang diduga merencanakan kerusuhan”. Ia menilai dugaan BNPT dan Setara Institut ada benarnya. Sebaiknya ke depan, kampus-kampus di Indonesia harus dibersihkan dari paham radikal dan eksklusivisme. “Saya berharap Pak Jokowi, yang masuk 50 tokoh pemimpin Muslim se-dunia, dan terpilih lagi jadi Presiden 2019-2024, mengangkat sosok Menteri Pendidikan Tinggi yang tepat. Jika, Pak Jokowi salah pilih bisa jadi bumerang. Sosok yang saya harapkan, ialah seorang berani dan sudah punya track record yang jelas sejak jaman mahasiswanya serta berkomitmen keras memberantas paham radikal dan eksklusif, ujar Andjoko.

Ambarsari, seorang politisi muda, sangat konsen terhadap isu radikalisme di kampus. Kampus itu sejatinya sebagai wadah membentuk kepribadian manusia yang peduli terhadap negara dan pengembangan IPTEK. Apalagi tantangan Indonesia ke depan kian berat dengan berkembangnya teknologi digital di era disrupsi. “Sesuai janji Jokowi dalam kampanyenya yang bakal memperkuat SDM Indonesia, saya berharap Menteri Pendidikan Tinggi periode 2019-2024 dipegang oleh sosok yang profesional, kredibel, berkomitmen untuk kemajuan bangsa dan berpengalaman menangani perguruan tinggi PTN/PTS”, demikian kata Ambarsari.

Alusdin Sinaga, alumni IPB, seorang pengusaha sukses asal Medan, juga peduli soal radikalisasi di kampus. Meskipun, saya ini pengusaha, tapi saya prihatin dengan situasi perguruan tinggi saat ini. Apalagi hal itu terjadi di almamater saya sendiri. “Saya berharap susunan menteri Jokowi yang akan datang bisa mensterilkan kampus dari kaum radikal, anti pemerintah dan mampu mewarnai kampus dengan kehidupan toleran, cinta Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Kalau bisa Jokowi, menunjuk orang yang memiliki kompeten, kapabilitas, integritas, networking yang luas, kemampuan komunikasi (communication skill) yang andal dan mampu menjalankan harapan saya”, demikian ujar Sinaga, pegiat kerukunan agama di Sumut. “Saya menilai salah satu tokoh pendidikan tinggi yang layak adalah Prof. Dr. Asep Saefuddin. Beliau, pernah menjawab Wakil Rektor IPB dan kini menduduki Rektor Universitas Al Azhar Jakarta”.

Harapan Pasukan Anti Radikalisme: Menristekdikti Sebagai Panglima Anti Radikalisme di Dunia Pendidikan

(ANFPP)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here