Beberapa minggu terakhir muncul perbincangan di media sosial, yang berakhir pada pandangan, bahwa al-Azhar adalah majlis taklim. Saya sendiri sudah terbiasa dengan kritik dan hujatan, bahkan hujatan dari lulusan al-Azhar. Saya memilih menanggapinya dengan tenang, tapi banyak alumni yang marah-marah.
Saya sendiri berusaha kalem, karena memandang istilah “majlis taklim” bisa dipahami dengan dua kacamata, yaitu positif (‘ainurridha), bahwa arti majlis taklim adalah lembaga pengajaran. Tapi bisa juga menjadi negatif (‘ainussukhti), jika kita menafsirkannya sebagai lembaga pengajian biasa. Tapi lembaga pengajian pun masih bagus, karena pesantren itu awalnya lembaga pengajian, dan terbukti mampu melahirlan para ulama besar.
Kepada Luthfi Syaukani, sahabat dekat, saya hanya berkomentar ala guyonan NU, “apa kabar bro, saya lulusan al-Azhar”, dan sontak banyak yang “like”. Saya yakin, Luthfi akan membaca komentar saya itu sambil tersenyum. Ya, kita ini sama-sama lulusan Timur-Tengah dan bisa berbeda pendapat, tapi terus menjaga persahabatan dengan baik.
Yang berbahaya dari media sosial belakangan ini, munculnya pandangan komentar yang sarkastik dan jauh dari kearifan, apalagi akhlak mulia. Ironisnya, komentar sarkastik itu disampaikan oleh mereka yang berpendidikan dan memegang teguh nilai-nilai agama. Belum lagi, generasi baru yang ingin pansos di media sosial, malas berkarya. Mereka hanya ingin catatannya viral, mendapat like, dan kontroversial.
Saya berusaha menegur dan mengingatkan generasi baru ini, atas nama dan niat kasih-sayang. Tapi rupanya, generasi baru ini susah diingatkan alias pekok. Alih-alih menerima nasehat, tapi justru menghujat balik. Sungguh, jika ini menjadi potret generasi baru kita, maka kita tidak akan mengalami kemajuan yang signifikan di masa yang akan datang. Tapi, saya yakin di al-Azhar masih banyak generasi baru yang belajar sungguh-sungguh, tidak mau pansos, dan mereka yang akan meneruskan tonggak pemikiran moderat al-Azhar.
Sebagai lulusan al-Azhar, saya hanya mengingatkan bahwa terma lulusan Barat dan lulusan Timur-Tingah itu sudah tidak relevan lagi. Wacana ini pernah muncul pada tahun 90-an. Saat itu, saya dan teman-teman merespons dengan positif, dengan melakukan kajian intensif di Kairo. Setelah itu, lahirlah generasi emas, para cendekiawan yang mampu melahirkan karya-karya emas, saling bahu-membahu untuk memajukan dan menyemarakkan intelektualisme di Tanah Air. Bahkan, tidak sedikit dari lulusan al-Azhar yang melanjutkan studi ke Barat. Saya kira, generasi baru al-Azhar tidak banyak tahu fenomena ini.
Sebenarnya, fenomena tersebut bukan hal yang baru. Dulu, selama saya kuliah di al-Azhar, saya diajar langsung oleh Allah yarham Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq, yang lulusan Universitas Munich dengan disertasi tentang Pemikiran Imam al-Ghazali dan Filsafat Descartes. Imam Besar al-Azhar, Syaikh Ahmad Thayyib juga lulusan Universitas Sorbonne, Paris. Dan banyak dosen al-Azhar yang kuliah di Barat. Dalam beberapa tahun terakhir, al-Azhar gencar melakukan simposium dan forum-forum ilmiah berskala internasional tentang dialog Islam dan Barat.
Walhasil, dalam suasana Idul Fitri ini, perlu kiranya kita menggaungkan kembali “halal bihalal intelektual”, bahwa terma lulusan Timur-Tengah dan lulusan Barat itu tidak relevan lagi. Di tengah kemajuan dan keberkahan ilmu di era digital ini, kita bisa menimba ilmu dari mana saja, baik Timur-Tengah maupun Barat. Kita bisa menilai, mana karya yang berkualitas dan karya yang tidak berkualitas. Dan, publik akan semakin cerdas memberikan penilaian.
Saya menulis catatan ini dalam perjalanan menuju Kairo, dan pastinya akan berkunjung ke al-Azhar, tempat saya belajar filsafat Ibnu Rushd. Saya belajar rasionalitas dari al-Azhar. Banyak kenangan saat kuliah di al-Azhar, dan membentuk pemikiran saya. Dan saya juga banyak membaca karya-karya pemikir Barat, termasuk karya-karya lulusan Barat. Sebaliknya, karya-karya saya banyak dibaca dan dijadikan rujukan para pemikir Barat. Inilah zaman, semua saling belajar dan saling mengkritisi, tetapi di antara mereka bersahabat. Pesan Imam Ali bin Abi Thalib masih sangat relevan, “manusia itu bersaudara, baik seagama maupun sesama umat manusia.”
Dr H Zuhairi Misrawi MA
Dubes RI untuk Tunisia