Melihat Gus Yaqut kok ya seperti melihat Gus Dur terlahir kembali. Walaupun bagi saya secara pemikiran, spirit kebhinnekaan dan kebangsaannya Gus Dur tak pernah mati sesungguhnya. Ia selalu hadir bagi banyak orang yang mencintai negeri dengan pluralitas ini.
Kali ini ia hadir secara nyata dalam diri Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut), Menteri Agama RI yang baru.
Masih lekat dalam ingatan kita betapa Salam Natal 2020 Gus Yaqut sebagai Menteri Agama yang baru terasa sangat menyejukkan hati setiap insan. Ada harapan baru negara akan merangkul semua pemeluk agama dan memberantas semua tindakan intoleransi yang selama ini meresahkan negeri.
Ini persis ketika Gus Dur menjadikan hari raya Imlek sebagai hari libur nasional. Waktu itu masyarakat bersuka cita karena harapan pluralisme akan hidup dalam negeri ini.
Kita ingat juga jargon Gus Dur yang terkenal bahwa “Tuhan tak perlu dibela”. Agama sebagai ritual untuk menyembahNya juga ngak perlu dibela. Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Islam adalah wadah di mana Tuhan merepresentasikan DiriNya.
Lantas apa maksud “bela Islam” dalam ormas almarhum FPI yang semasa hidupnya terkesan garang sekali?
Katolik adalah Katolik, Islam adalah Islam, Protestan adalah Protestan, Hindu adalah Hindu, Budha adalah Budha. Sebagai ‘rumah’ untuk mendekatkan diri dengan sang khalik, ia tak perlu dibela. Karena pembelaan manusia itu tidak berpengaruh sedikitpun pada eksistensi agama itu. Termasuk hinaan terhadap agama itu sendiri.
Bahkan jika terpaksa tanpa agama pun (daripada menjadi mabok atau candu), Tuhan tetap hadir kok entah lewat pengalaman manusia atau lewat mukjizat penampakan harian yang manusia cukup buta untuk melihatNya.
Tuhan hadir dalam pengalaman spiritualitas manusia lebih dalam dari lewat agama, apalagi jika agamanya sudah disesatkan oleh segelintir orang. Jadi yang ngebela-bela agama itu sebenarnya ngak perlulah. Karena tak punya tujuan jelas, ngawur pasti arah dan tindakannya. Ini logika saja.
Tapi, apakah kita tahu konteks ucapan Gus Dur itu dengan “Tuhan tak perlu dibela” itu? Mungkin tidak. Tahun 1982 tanggal 26 bulan Juni Gus Dur pernah menulis seperti judul di atas di majalah Tempo.
Diilustrasikan oleh Gusdur tentang seorang sarjana lulusan luar negeri di negara yang penduduknya muslimnya nyaris tak ada. Sarjana itu kaget ketika kembali ke negerinya sendiri yang muslimnya nyaris mayoritas justru hidup dalam kemarahan dan ketakutan. Kemarahan dan ketakutan yang bagaimana?
Ilmuwan Islam takut ilmu-ilmu modern mengikis keislaman penganutnya sehingga membuat dalil di mana Islam harus menjadi rujukan keilmuannya. Sarjana yang notabene muslim yang pernah belajar di barat yang modern ngak habis pikir apa perlu sedemikian takutnya pada arus modernitas?
Para muslim marah ketika alkohol, pakaian yang tidak syari’, makanan mengandung babi berseliweran di pasar-pasar modern kita. Label halalpun jadi bisnis baru oleh para oknum. (Malahan 38 tahun berselang bahkan kulkas ikut dilabeli halal, Watdefak!) Sang sarjana heran tak habis pikir, perlukah muslim semarah dan setakut itu pada entitas haram dan yang tidak islami.
Sarjana itu terus mengembara mencari jawaban kenapa bisa begitu. Dia bertanya pada ustad, kyai, para pinisepuh.Tak ada yang memuaskan rasa dan pikirannya karena jawabnya ‘wis le..ikuti saja. Memang Islam ya begitu kui.” Semakin bingunglah si sarjana itu.
Sampai satu kali dia berguru pada guru tarekat. Jawaban sang guru cukup menyentak. “Allah itu Maha Besar. Ia tak memerlukan pembuktian ajaran kebesaranNya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas DiriNya sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujudNya dan atas kekuasaanNya.”
Sang sarjana pun pulang dengan hati yang puas dan Bahagia. Saya sekarang sadar bahwa yang sarjana itu cari adalah jawaban atas pencaharian makna spiritualitas manusia, lebih dari sekedar agama formal.
Nah, entah mengapa mengenang sarjana yang diceritakan Gusdur kok pikiran saya langsung tertuju pada Gus Yaqut, anak muda Islam terpelajar yang sangat mencintai bangsa dan seluruh umat tanpa sekatan golongan dan agama ini.
Ada harapan Gus Yaqut sebagai orang muda yang menemukan makna spiritualitas manusia lewat agama sehingga tepatlah jika beliau ditunjuk Jokowi sebagai Menteri Agama RI yang selama ini kehadiran Menteri sebelumnya bagi masyarakat minoritas khususnya.
Karena itu patutlah saya ulangi “pencerahan sarjana” itu yang seolah dihadirkan kembali lewat pidato Gus Yaqut pada waktu pelantikannya sebagai menag RI beberapa waktu lalu. Karena rangkaian pidato singkat ini akan menjadi momentum untuk pluralisme tegak kembali di negeri Bhinneka Tunggal Ika ini.
“Saatnya mengembalikan Agama sebagai inspirasi bukan aspirasi.
Agama harus kembali menjadi penerang jiwa-jiwa setiap warga bangsa, sebagai penerang yang menenangkan setiap insan ketika dalam kesulitan. Agama kembali masuk ke sanurbari masing-masing dan menuntun setiap manusia menjadi pribadi yang peduli pada sesame dan menebarkan welas asih untuk seru sekalian alam.
Jangan ada lagi pemanfaatan agama untuk membenturkan kelompok satu dengan yang alin, jangan ada lagi agama sebagai kendaraan untuk pencapaian tujuan pokitik yang mengganggu stabilitas negara……………………..”
Selamat datang pluralisme yang sudah lama tertidur. Selamat tinggal intoleransi yang selama ini dihembuskan oleh ormas-ormas pengacau pemecah belah umat dan para penyebar kedengkian terhadap pemerintah.
Semoga Gus Yaqut tetap konsisten dengan penemuan makna spiritualitas negerinya dan tetap berjuang untuk kedamaian negeri yang pluralistis ini. Kita semua mendukungmu.
Penulis : Rudi Tamrin