Melihat cover ‘Koran Tempo’ plesetan dari lambang KB (Keluarga Berencana) sebagai ‘Keluarga Berjaya’, bagi anak dan menantu Jokowi yang memenangi Pilkada di Solo dan Medan, saya miris. Atau mungkin lebih tepatnya, merinding dan meringis. Segitunya.
Kalau mengenai mantunya di Medan, saya tidak mengenal kiprahnya. Tetapi jika Koran Tempo adil, untuk melihat lebih jauh kiprah Gibran Rakabuming, koran itu saya kira telah melakukan pemberitaan yang insinuatif.
Satu kesalahan terbesar Gibran, ialah dia anak Jokowi, yang adalah Presiden Republik Indonesia (2014-2019, dan 2019-2024). Saya cuma membayangkan, bagaimana kalau yang jadi anak Presiden adalah seluruh tim ‘Koran Tempo’, yang terlibat dalam kerja jurnalistik ‘Keluarga Berjaya’ itu?
Jika secara hukum, UU, aturan, tak ada yang dilanggar untuk siapapun ikut kontestasi demokrasi (Pilkada), persoalannya mungkin akan digeser pada persoalan etik, atau kepantasan. Pertanyaannya: Apakah yang dilakukan, dan dijalani Gibran tidak pantas? Apa ukuran kepantasannya? Minta Gibran lahir ulang, menjadi anak Gatot Nurmantyo, atau anak Mardani Ali Sera, misalnya?
Pilkada, Pileg, atau apapun sejenis itu, sepanjang sesuai syarat dan ketentuan berlaku, membolehkan anaknya Ma’ruf Amin yang wakil presiden, maju jadi calon. Juga keponakan Prabowo. Tapi apakah mereka memenangi kontestasi itu? Cek perolehan pilkada di Tangerang, Jawa Barat. Sementara tanyalah Surya Paloh, kenapa Jokowi memintanya agar Nasdem tidak mencalonkan adiknya menjadi calon bupati di Pilkada Gunung Kidul? Tapi, mengapa Jokowi ‘membolehkan’ anak dan menantunya?
Jika kita ngomong soal ukuran etik, maka tolok ukur etik dan padanan etik, dan nilai-nilai etiklah yang menjadi pegangan. Apakah kita sudah menelusuri, atau hanya berdasar sensibilitas subyektif kita?
Yang paling buruk dari perilaku politikus, ketika itung-itungan tidak kemput, tak bakalan menang, atau bahkan sudah memastikan kalah sebelum tempur (dan karena itu tidak berani mencalonkan diri), kemudian menebar gosip, memunculkan isu sektarianisme, politik dinasti, dan seterusnya. Hal-hal yang ukurannya tidak jelas. Dalam hal itu, kemunculan Bagyo bersama Tikus Pithi Hanata Baris, sebagai calon independen, jauh lebih terhormat.
Saya bisa mengerti beberapa pihak yang agak kurang sreg, dengan pencalonan Gibran sebagai walikota Solo. Tetapi sayangnya, keberatan atau ketidaksregan itu, tak disertai upaya untuk melakukan konfirmasi. Bertanya, atau mengamati lebih cermat. Apa yang menjadi alasan, latar belakang, motivasi. Dan bagaimana kemudian ia menjalani prosesnya.
Gibran adalah anak muda yang celaka, karena anak Presiden. Maka jangan ada yang mau jika orangtuanya jadi Presiden, kecuali saya? Begitu? Itulah ketidakadilan dari mereka yang berangkat dari pengamatan ‘politik kekerabatan’. Karena dari sisi ketentuan dan syarat berlaku, memang tak ada yang dilanggar. Membandingkan anak Soeharto, yang tak satu pun nyalon dalam Pilkada, karena memang pada jamannya tak ada Pilkada itu.
Namun lepas dari segala sinisme, yang tak proporsional, lihatlah kiprah Gibran. Track recordnya, jejak digitalnya, sejak menjadi EO mantenan, pengusaha catering. Padal anak Walikota Solo, yang memakai gedung bapaknya saja, dia membayarnya. Dia juga sama sekali tak mau nerima ‘kateringan’ yang berkait proyek Pemda Solo. Para birokrat atau ASN Solo pasti tahu persis kinerja dan karakter Gibran.
Gibran sendiri, saya kira, orang yang tak suka Bapaknya turut campur. Beban sebagai anak pejabat, adalan beban psikologis, yang mungkin saja membuat Gibran punya karakter ketus dan sombong. Karena ia ingin keluar dari bayang-bayang bapaknya. Ini drama psikologi hampir dari semua anak, yang berjuang keluar dari superioritas orangtua. Apalagi anak lanang dan bapaknya, dalam berebut cinta perempuan yang sama. Yakni ibunya sendiri, yang di sisi lain adalah isteri bapaknya.
Penjelasan bab itu, agak rumit. Tapi mari keluar melihat aktivitas Gibran, sebagai individu yang utuh dan merdeka. Apakah Gibran orang yang bergantung dan mengandalkan orangtuanya? Apakah Gibran pengusaha muda sukses yang sombong? Apa saja yang dilakukan bagi masyarakat Solo, dari sejak awal, pada beberapa anak orang miskin, dan puluhan ribu pedagang UMKM, yang diorganisasikannya, jauh sebelum bapaknya jadi Presiden?
Dibanding calon lawannya dalam Pilwakot kemarin, Gibran memang tak tertandingi. Ia muda, mandiri, kreatif, voluntering, dan seorang generous. Bukan hanya tim ‘Koran Tempo’ bisa menanyai warga Solo, tapi siapapun boleh cek hal itu. Gibran mendapat suara 86%, itu angka yang meyakinkan. Tinggal diselisik, apakah karena anak Presiden? Atau karena ia adalah Gibran Rakabuming, sebagai individu yang utuh? Sila disigi secara objektif.
Yang terang, generasi muda Solo, sebagai pemilik masa depan daerah dan kehidupannya, saya bisa pastikan lebih antusias menyambut kemenangan Gibran. Mereka yang lebih tahu kebutuhan Solo hari ini dan ke depan. Jangan lupa, dalam situasi pandemi ini, ekonomi mikro Indonesia, tertolong oleh anak-anak muda, generasi milenial yang mengembangkan bisnis online, akrab dengan teknologi digital, baik dengan berbagai start-app kreasinya, atau dengan berbagai UMKM dampingannya.
Merambah ke pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, bahkan mengembangkan model-model koperasi, yang selama ini disingkiri oleh para penguasa kapital, yang dalam situasi pandemi ini lebih banyak menyimpan duit cash di balik bantal tidurnya, yang makin membuat pertumbuhan ekonomi kita melambat.
Salah satu konsep tumbuh bersama yang digagas Gibran, saya kira akan mendinamisasi Solo, sebagai kekuatan ekonomi baru dari daerah. Sesuatu yang tak bisa maksimal direalisasi ketika ia hanya pengusaha Markobar. Tentu, persoalannya, bagaimana Gibran bisa melakukan akselerasi gagasan itu dengan mesin birokrasi pendukungnya.
Namun intinya, jangan ragukan anak muda. Saya bisa contohkan, bagaimana di desa Panggungharjo dan Guwosari (Bantul, DIY), dua anak muda yang menjadi kades melakukan revolusi mental yang dahsyat, dengan kesadaran teknologi digitalnya. Demikian juga apa yang dilakukan Ferdinandus Watu, anak muda yang menjadi kades di Detusoko Barat, Ende, Flores. Atau gerakan Billy Mambrasar dengan anak-anak muda Papua Muda Inspiratif.
Di situ, Jokowi, Bill Gates, atau Mark Zuckerbergh boleh melihat kiprah mereka. Bagaimana teknologi bisa menjadi pintu transformasi sosial, ketika geliat ekonomi nasional kita masih dikangkangi pemain lama, dengan penyakit laten-nya yang koruptif dan kolutif.
Masa depan Indonesia, kata berbagai pengamat, akan tumbuh dari desa, pada kekuatan lokal. Kita bisa mulai dari sana, untuk bisa mengerti bagaimana Gibran begitu kagum pada Ahok; dengan doktrinnya ‘kalau hanya sebagai pengusaha kamu hanya akan menyejahterakan karyawanmu, blablabla,…’
Dan menurut saya, berbahagialah masyarakat Solo, mendapatkan Gibran Rakabuming itu. Mereka yang lebih tahu. Kalau ‘Koran Tempo’, yang peredarannya hanya lokal Jakarta, mungkin lebih pas untuk konsumsi masyarakat Jakarta. Bagi warga Solo, tinggal bagaimana mengamati dan mengkritisi Gibran. Dengan mengingatkan atau membantunya untuk kebaikan. | Copas: Sunardian Wirodono III