Bongbong Marcos (Jr) menang dalam pemilihan presiden Filipina hari-hari ini. Dia adalah putra Ferdinand Marcos, diktator Filipina yang digulingkan melalui “people power” pada 1986. Marcos Sr terusir dari negeri dan meninggal di pengasingan (Hawaii).

Marcos adalah cerita buruk diktator-diktator yang naik ke kursi kekuasaan lewat dukungan Amerika Serikat. Mereka korup dan otoriter: Syah Pahlevi (Iran), Augusto Pinochet (Chile), dan Soeharto (Indonesia). Semuanya jatuh oleh gelombang besar “people power”, hanya Soeharto yang tidak terusir dari negerinya.

Bagi generasi saya, yang meliput Filipina pada akhir dasawarsa 1980-an, tak sulit untuk melihat paralel munculnya Bongbong Marcos dengan menguatnya pamor politik Tommy Soeharto, yang dalam beberapa tahun terakhir mencoba peruntungan politik lewat Partai Berkarya.

Tommy Soeharto tidak sesukses Bongbong, atau mungkin belum. Tapi, kemunculan mereka sendiri menunjukkan pergeseran persepsi politik yang relatif cepat: dari keluarga diktator yang dihinakan menjadi pahlawan/pemimpin baru.

Bagaimana itu bisa terjadi?

Tak hanya itu mencerminkan amnesia (ingat pendek) publik, tapi itu dimungkinkan oleh rusaknya sistem politik.

Tommy Soeharto mungkin tidak pernah menjadi presiden, tapi sistem politik kita sudah dan sedang khusuk mengikuti kerusakan politik Filipina. Dan kerusakan itu sudah cukup untuk membuat banyak kronik Orde Baru, jika bukan keluarga Soeharto, masih bisa berjaya sampai kini.

Setelah reformasi, Indonesia mengalami pergeseran dari parlementer ke presidensial, condong meniru Filipina yang mengimpor sistem dari penjajahnya, Amerika Serikat.

Andreas Ufen, pengamat politik asal Jerman, menerbitkan kajian pada 2006 yang menyimpulkan bahwa sistem politik dan kepartaian di Indonesia sedang mengikuti trend Filipina. Sedang terjadi proses “filipinisasi” yang negatif.

Apa ciri filipinisasi?

1. Partai-partai (baik baru maupun lama) dimobilisasi cuma untuk memenangkan calon presiden. Partai makin dipersonalisasi dengan figur presiden.

2. Kepemimpinan partai bertumpu pada kharisma tokoh dan karenanya otoriter (nir-demokrasi), sehingga seringkali memicu kisruh-internal (faksionalisme).

3. Kentalnya politik uang dan menguatnya koalisi-koalisi pragmatis (transaksional) membentuk semacam kartel, yang pada akhirnya memperkuat kecenderungan partai dipakai sebagai kendaraan oleh kaum oligark.

4. Partai-partai miskin program (political platform), makin pragmatis dan makin lemah perannya sebagai penyalur aspriasi rakyat.

5. Rendahnya ikatan konstituen dengan partai; bahkan antara politik dengan partainya (fenomena politisi kutu loncat sangat lazim)

Redaksi SBSINEWS
10 Mei 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here