Satu Fenomena Sosial Keagamaan yang menarik untuk di urai adalah fenomena perayaan idul fitri di Indonesia yang umumnya di sebut sebagai lebaran.
Secara harfiah ( istilah kata) sebenarnya kata lebaran maknaya berbeda dengan istilah idul Fitri maupun idul adha , namun dalam konteks umumnya bahasa sehari-hari people +62 , ia sudah sama saja. Idul Fitri maupun idul adha ya lebaran.
Sebenarnya saya tidak ingin menjelaskan perihal istilah ini, karena ingin memberi satu perspektif perihal fenomena perayaan idul fitri dan idul adha di Indonesia, sebagai tanggapan atas tulisan seseorang yang membandingkan dengan fenomena lebaran di negara lain, namun tidak ada singkat dipaparkan .
Ada empat bahasa daerah yang disebut menjadi asal kata Lebaran, yaitu bahasa Jawa “lebar” (selesai), bahasa Sunda “lebar” (melimpah), bahasa Betawi “lebar” (luas), dan bahasa Madura “lober” (tuntas).
Bahkan beberapa budayawan menyebutkan bahkan istilah lebaran berasal dari tradisi hindu, yang kemudian oleh para wali terminologi itu diadatasi dalam dunia islam oleh para wali.
Lebih spesifik, budayawan Umar Khayam menyatakan bahwa tradisi perayaan Lebaran dimulai pada abad ke-15 di Jawa oleh Sunan Bonang, salah seorang anggota Wali Songo,”.
Kalau mau dimaknai , maka bisa dikatakan bahwa puasa dalam arti perjuangan pengendalian nafsu dan upaya agar perilaku disesuaikan dengan nilai nilai kemanusiaan maupun nilai nilai ketuhanan selama 30 hari telah usai , relasi sosial melebar, keberkahan bertebaran melimpah.
Ini dibuktikan dari berbagai upaya upaya menyambung silaturahmi yang terputus atau mulai pudar dengan tengah kesibukan kerja maupun sikap hidup yang individualistis. Mereka yang jauh dari kampung halaman melakukan mudik, yang tentu bisa menjadi sebab kebahagiaan bagi keluarga di kampung itu sendiri.
Kita juga melihat fenomena lainnya, yaitu adanya masakan khusus ( buras, ketupat dengan variasi lauk di tiap daerah) yang sengaja di sajikan untuk disantap di hari raya.
Bahkan ada masyarakat yang mengkhususkan memotong ayam kampung sebagai satu ekspresi syukur dan bahagia, pada saat yang sama ayam itu dimasak dengan menus khas, kemudian di tujukan selain untuk keluarga sendiri juga tamu tamu yang akan datang.
Dan satu hal yang penting adalah budaya saling kunjung mengunjungi antara keluarga, kerabat dan sahabat.
Meski nampaknya ini momentuman, namun ini adalah suatu kekuatan sosial budaya berbasis nilai nilai religius , yang pada dasarnya ingin merawat kehidupan sosial yang berkelanjutan.
Di tengah kesibukan masing masing melalui pola kerja dunia modern, cenderung menjadikan manusia individualis , pun ingin bertemu jika ada kepentingan ( politik, ilmu, proposal, dsb), namun fenomena kunjung mengunjungi pasca lebaran ini murni terkait bagaimana silaturahmi itu selalu terjaga, yang terputus disambung , yang jauh di dekatkan, dan yang dekat di rawat.
Kita bisa membaca satu teori praksis Jurgen Habermas ” Penganut madzhab Frankfurt generasi kedua asal Jerman”, bahkan manusia modern dalam teori Marxian murni melihat praksis itu semata dalam konteks kerja ” ekonomi-politik” sehingga ia teralienasi dari jati diri kemanusiaannya, satu praksis yang ditawarkan adalah praksis komunikasi yang lahir dari akal budi ( refleksi diri), bukan komunikasi yang lahir dari ambisi ini dan itu dengan segala bungkusan idealismenya.
Jujur, saya awalnya tidak ingin pulang kampung, ingin lebaran di pondok ( repot pulang kampung dua anak, dan tidak begitu urgen secara intelektual) namun nenek sering nangis soal berita ketidakpulangan saya, alhasil saya pulang, dan disaat saya pulang, ternyata kehadiran kita di tengah tengah keluarga ( orang tua) adalah suatu kebahagiaan luar biasa bagi mereka.
Selain itu saya bisa berkunjung kerumah keluarga istri dan keluarga sendiri, saya belajar banyak hal, bahwa satu nilai yang fundamental dimasyarakat adalah silaturahmi ( menyambung tali arham/ tali kasih sayang sesama manusia/tafsir al misbah prof shihab) dan silaturahmi sebagai anjuran agama ( sunnah nabi) telah di balut dengan kemasan oleh budaya masyarakat Indonesia melalui para wali Allah dahulu yang berhasil melakukan inovasi dan kreatifitas dakwah.
Fenomena lain adalah masyarakat Indonesia umumnya akan rutin melakukan ziarah kubur kepada keluarga keluarga mereka, tentunya selain berusaha menjaga memori kesadaran dengan para leluhur, tetua, keluarga yang wafat juga ini bisa menjadi momentum untuk merefleksikan kematian, bahwa toh akhirnya kita semua juga akan menuju liang lahat.
Artinya, hal ini bisa merealisir kecenderungan hidup yang materialistis ( materi sebagai tujuan kehidupan) sebagaimana pandangan Emmanuel Levinnas, atau bisa menjadi alat introspeksi diri sehingga orang bisa merenungi tujuan eksistensi ( tujuan hidup ) nya di dunia, dalam bahasa agamanya, orang tersadar bahwa dunia sementara dan akhirat selamanya.
Hari Raya juga melahirkan moral sosial yang khasa antara Bos dengan Karyawan, antara Pimpinan dengan Bawahan melalui adanya THR, bahkan lintas agama pun terjadi. Dimana bos bos yang non muslim sering memberikan THR ke karyawannya yang muslim. Tentu ini menjelaskan bahwa selain relasi kerja ( profesional) ada juga relasi kemanusiaan ( bukan murni relasi ekonomi).
Terakhir adalah masalah foto foto keluarga, mungkin sebagian memandang nya narsis, saya sendiri tidak pernah pasang foto keluarga karena berusaha menjaga perasaan mereka yang mungkin berduka ( kehilangan ayah, ibu, anak), namun kalau kita harus melihat sisi lain fenomena posting posting foto keluarga adalah itu bisa menjadi satu kekuatan moral ” moral of force”.
Ali Khamenei menyebutkan bahwa keluarga adalah sel masyarakat”.
Artinya ,rusak keluarga maka akan merusak tatanan sosial. Masyarakat tak lain adalah suatu realitas yang di tegakkan diatas bangunan berbagai keluarga keluarga, sehingga eksistensi masyarakat disini tentu sangat bergantung pada eksistensi keluarga, sakit sehatnya masyarakat bergantung pada sakit sehat nya keluarga.
Nah, kenapa kita tidak ingin melihat fenomena post post foto keluarga itu sebagai upaya masyarakat Indonesia untuk meneguhkan betapa fundamental kekeluargaan itu dalam kehidupan ?
Pesan kepada dunia bahwa keluarga adalah inti kehidupan sosial, membangun keluarga adalah membangun surga surga dunia, membangun keluarga adalah membangun peradaban, merawat keluarga adalah merawat cinta kasih yang tulus.
Tentu saya tidak membatasi relas keluarga dalam makna biologis, bisa pula ia dalam makna ideologis, namun bagi saya dengan menikahnya Imam Ali dan Fatimah Az Zahra, kemudian lahir dua pemuda surga pejuang agama dan kemanusiaan, yaitu Imam Hasan dan Imam Husain, menjelaskan kepada kita betapa islam mengutamakan urgensi membangun kehidupan islami bermula dari keluarga.
Dan semoga post post sederhana ini bisa meluas menjadi gerakan yang dapat membendung gerakan HAM ( hak asasi manusia) yang dibaliknya bersemayan ideologi politik liberalisme ( LGBT) yang berusaha menghancurkan pola seksual yang sesuai kodrat alam ( sunnatullah).
Dan dibalik meningkatnya kasus KDRT, semoga bulan puasa dan keberkahan hari raya bisa menjadi media pendidikan alternatif memperbaiki tatatan rumah tangga Masyarakat Indonesia.
Tentu peran adab batin puasa seperti anjuran untuk mengendalikan emosi, juga perlu memaksimalkan ceramah2 subuh maupun tarwih terkait pembentukan pandangan dunia ummat islam,akidah, sejarah masa depan ummat, juga terutama adalah akhlak kenabian terutama dalam membangun rumah tangga.
Wallohu a’alam Bisshowab.
Mungkin nampak formalistik, tetapi izinkan al faqir mengucap kan Mohon Maaf lahir dan Batin , artinya jiwa raga saya memohon kepada saudara sekalian agar dimaafkan atas segala lisan, tulisan, perbuatan yang di lakukan secara sengaja maupun tidak sengaja.
Semoga bisa saling memaafkan dalam diam ( hati) maupun lisan.
Penulis
Ahmad Ali Abdullah