SBSINews – Di kalender Indonesia, angka 7 pada bulan Maret tahun ini dicetak merah karena adanya Perayaan Nyepi yang dilakukan masyarakat Hindu Bali.
Sebagai hari raya salah satu agama, pemerintah menetapkan Hari Nyepi sebagai hari libur nasional sejak 1983.
Nyepi dikenal luas oleh masyarakat Indonesia sebagai hari berdiam diri bagi masyarakat Hindu di Bali. Mereka yang merayakan tidak diperkenankan untuk beraktivitas di luar rumah dan melakukan berbagai kegiatan.
Nyepi menjadi momen umat Hindu untuk melakukan kontemplasi atau perenungan tentang kehidupan.
Namun, tahukah bahwa Nyepi ternyata merupakan sebuah perayaan tahun baru Saka dan hanya dirayakan oleh umat Hindu Bali.
Perayaan tahun baru
Dalam berbagai literatur, salah satunya buku berjudul Nyepi: Kebangkitan, Toleransi, dan Kerukunan karya Nyoman S Pendit, disebutkan bahwa Nyepi adalah Hari Tahun Baru dalam kalender Bali.
Kalender Bali yang dimaksud adalah sistem penanggalan Saka yang menggunakan sistem penanggalan berdasarkan bulan dan hampir mirip perhitungannya dengan kalender Gregorian.
Tahun Saka dimulai dari hari penobatan Maharaja Diraja Kanishka I yang jatuh pada tahun 78 Masehi. Hari itulah yang kemudian disebut sebagai tanggal 1 bulan 1 tahun 1 saka.
Tahun baru di tahun Saka biasanya jatuh setelah bulan baru pertama bulan Maret kalender Masehi, atau setelah bulan mati (tilem sasih) bulan Kasanga kalender Saka.
Bulan kesembilan bagi umat Hindu diyakini memiliki makna matematis dan juga mistis.
Makna matematis, angka 9 jika dikalikan dengan bilangan berapa saja akan menghasilkan angka yang jika dijumlahkan adalah 9.
Sementara makna mistis, angka 9 sebagai angka tertinggi memiliki korelasi dengan keyakinan di dalam agama yang paling tinggi adalah keagungan dan kesucian.
Tahun ini, Nyepi bertepatan dengan tanggal 7 Maret 2019.
Tahun baru dan berdiam diri
Umat Hindu mengikuti upacara melasti di Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, dengan hikmat. Melasti digelar menjelang Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1941/2019 itu, Selasa (5/3/2019).
Terdapat Catur Brata Penyepian yang harus ditaati oleh umat Hindu Bali, yaitu amat geni (tidak menyalakan api atau penerangan), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), amati lelanguan (tidak mengakses hiburan).
Pertanyaannya, mengapa merayakan tahun baru justru harus berdiam diri, tidak seperti perayaan tahun baru pada umumnya yang dirayakan dengan meriah.
Berdasarkan literatur yang sama, Hari Raya Nyepi membawa harapan akan adanya keamanan, keselamatan, kesejahteraan, dan perdamaian bagi seluruh umat manusia di tengah semua perbedaan.
Sementara menurut Organisasi Hindu Dharma, Nyepi yang berasal dari kata sepi, pada prinsipnya meredakan panca indra manusia dengan kekuatan manah dan budhi.
Dengan melakukan nyepi, dipercayai dapat menumbuhkan kebahagiaan sehingga meningkatkan kualitas hidup seseorang.
Hanya di Bali
Melihat asal muasalnya sebagai sebuah perayaan tahun baru Saka, dapat disimpulkan Nyepi hanya ada di Bali, Indonesia.
Selain Bali, Nyepi juga dilakukan oleh umat Hindu di sekitar Bali, misalnya di sebagian wilayah Kabupaten Probolinggo dan Pasuruan, Jawa Timur.
Kawasan di sekitar Gunung Bromo, ditinggali masyarakat suku Tengger yang sebagian menganut agama Hindu, mereka juga merayakan Nyepi sebagaimana umat Hindu di Bali.
Itu karena sistem penanggalan Saka atau Caka juga dipergunakan oleh masyarakat Tengger.
Namun jika menilik negara lain, misalnya India yang dikenal banyak didiami oleh umat Hindu, di sana tidak ada perayaan Nyepi layaknya yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali.
Tanggal 7 Maret tidak ada perayaan keagamaan apa pun di India, jika melihat kalender nasional yang berlaku di negara itu.
Hari besar terdekat adalah perayaan Maha Shivaratri Festival untuk memperingati kelahiran Dewa Siwa pada 4 Maret kemarin yang dijadikan hari libur nasional di Inda.
Untuk segenap umat Hindu yang merayakan, Selamat Hari Raya Nyepi 1941.(Sumbet: KOMPAS.com)