JAKARTA – Mantan pengikut ajaran Syiah yang mengungsi selama 10 tahun di Rusunawa Jemundo, Kabupaten Sidoarjo, akhirnya dipulangkan ke kampung halamannya di Kabupaten Sampang, Jawa Timur.
Proses tersebut ditangani langsung Pemerintah Kabupaten Sampang, yang kemudian diklaim menjadi tanda bahwa konflik sosial terkait paham ajaran tersebut sudah berakhir. Para warga eks penganut Syiah itu diusir dari kampung halamannya di Sampang pada 2011-2012, karena ajaran yang mereka yakini berbeda dengan mayoritas warga di daerah tersebut.
Seluruh mantan pengikut aliran Syiah yang pulang ke kampung halaman itu telah dibaiat dan kembali ke ajaran ahlussunnah waljamaah (Aswaja) atau Sunni, mazhab yang dianut mayoritas warga di Sampang.
Direktur Institut Sarinah Eva Sundari pun mengkritisi pembaiatan terhadap para mantan penganut Syiah itu. Eva menegaskan, berdasarkan UUD 1945, negara harus memberikan kebebasan dan perlindungan pada seluruh warga untuk menganut agama atau keyakinan sesuai dengan hati nuraninya.
“Sehingga ketika untuk memperoleh perlindungan negara guna pulang ke kampung halaman dengan anan, para warga penganut Syiah itu diharuskan mengingkari keyakinan nya melalui pembaiatan, hal ini sangat aneh,” tegas Eva, baru-baru ini.
Sebab, sambung Eva, Syiah adalah mazhab yang tak terpisahkan dari agama Islam. Dalam Organisasi Konferensi Islam, misalnya, para pemimpin Muslim dari mazhab Syiah maupun Sunni saling bersinergi secara setara.
Dan, ujar Eva, kriminalisasi maupun tindak intoleransi terhadap para penganut Syiah justru merupakan kejahatan.
“Maka menjadi tugas Kemenag dan MUI untuk meluruskan dan membina umat agar tidak menghakimi orang lain yang berbeda keyakinan, sehingga tidak terjadi konflik diantara para penganut dua mazhab itu,” ujarnya.
Eva mengingatkan, untuk meniadakan konflik diantara para penganut dua mazhab yang berbeda itu, bukan dengan memaksa yang minoritas untuk mengingkari keyakinannya.
Namun, harmoni itu bisa muncul jika kedua pihak mau mencoba hidup bersama berlandaskan penerimaan dan pengertian akan perbedaan.
“Ketika para penganut agama yang berbeda bisa hidup bersama, maka seharusnya para penganut Sunni dan Syiah juga bisa hidup bersama secara damai,” ujat Eva.
Adapun bila dari kalangan Sunni ada yang berkeinginan menyiarkan ajarannya pada warga Syiah, Eva mengingatkan agar hal itu dilakukan secara damai dan tidak memaksa.
“Bila ingin berdebat antar mazhab pun boleh, yang tidak boleh itu adalah tindak intoleransi dan kriminalisasi terhadap warga yang berbeda Mazhab,” ujar Eva.
Seperti diketahui, ada 274 warga Syiah asal Sampang yang terusir dari kampung halamannya. Dari jumlah itu, setelah melalui proses panjang di antaranya dilakukan baiat untuk kembali ke ajaran Sunni, semua akhirnya pulang kembali ke tanah kelahirannya di Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran.
Proses baiat dilakukan dua tahun yang lalu tepatnya di bulan November 2020 yang diikuti 274 jiwa. Pembaiatan disaksikan oleh tokoh agama dan masyarakat setempat di Pendapa Trunojoyo Sampang. (Hiski Darmayana)
Sumber : situs berita indepensi (SBSINEWS)