sbsinews- Tanggal 25 Oktober 1945, tentara Inggris mendarat di Surabaya. Tujuannya dua, melucuti tentara Jepang dan mengembalikan administrasi Indonesia kepada pemerintahan Hindia Belanda atau NICA.
Melihat hal itu penduduk Tionghoa di Surabaya lalu membentuk Tentara Keamanan Rakyat Chungking, seperti yang dikutip dari buku yang ditulis Iwan Santosa berjudul “Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran”.
Dan bersama para pejuang lainnya ikut dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya untuk mengusir tentara sekutu.
Meskipun TKR Chungking terkesan dibentuk dadakan, tapi mereka ini punya ciri khas tersendiri. Antara lain, TKR Chungking didukung oleh persenjataan bagus seperti senapan Karaben 98-K, serta memakai Fritzhelmet dari Jerman yang di dapat dari pasar gelap Tiongkok. Serta bendera merah-putih dan bendera Kuomintang yang selalu dibawa ke setiap pertempuran.
Selain itu tercatat juga TKR Chungking tergabung bersama para pejuang dalam laskar berani mati. Ketika itu tugas mereka adalah menyerbu benteng Sekutu yang diperkuat oleh Gurkha. Sedikit informasi, pasukan Gurkha di masa itu sangat ditakuti. Namun TKR Chungking sedikit pun tak gentar melakukan perlawanan.
Dari Malang beberapa pemuda Tionghoa membentuk Angkatan Muda Tionghoa (AMT). Mereka bergabung langsung ke Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo.
Salah satunya adalah Auwyang Tjoe Tek. Ia merupakan ahli proyektil (amunisi dan peledak). Ia mendapatkan kemampuan itu saat ikut berperang di Tiongkok melawan Jepang.
Siauw Giok Tjhan dalam ‘Renungan Seorang Patriot Indonesia’ mencatat, selain maju ke medan perang, Angkatan Muda Tionghoa juga mendirikan Palang Biru.
Mereka terlibat membantu korban perang dalam setiap pertempuran di Soerabaja. “Baik AMT atau Palang Biru mendapatkan tugas memasok ransum bagi para pemuda di garis depan,” tulis Iwan.
Anggota Palang Biru bertugas mengangkut korban pertempuran Surabaya ke garis belakang di Mojokerto.
Majalah terbitan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) edisi 9 Desember 2001 pernah menulis pertolongan medis warga Tionghoa dalam pertempuran 10 November 1945 adalah dengan membuka 10 pos dan 11 dokter berikut 600 paramedis, yang didanai organisasi Chung Hua Chung Hui.
Dan sejarah mencatat pertempuran berakhir tanggal 28 November 1945 dan menjadi pertempuran terakhir yang dihadapi militer Inggris semasa Perang Dunia II.
Dari Kantor berita Reuters melansir, bahwa ribuan orang Indonesia menjadi korban agresi militer sekutu.
Anak-anak dan perempuan turut menjadi korban. Warga Tionghoa termasuk di dalamnya.
Diperkirakan, 1.000 orang Tionghoa tewas dan 5.000 lainnya luka-luka akibat perang. Angka ini belum termasuk pejuang pribumi.
Sumber : intisari online, pressreader.com
~ Andi Naja FP Paraga ~