Sebelumnya tidak ada kepala daerah yang berbicara nyaring soal minyak goreng. Umumnya kepala daerah tidak cukup memiliki keberanian untuk menerabas tembok yang tinggi itu. Mereka hanya berani kasak-kusuk di belakang.
Anies misalnya, bikin manuver mau mengadakan operasi pasar minyak goreng. Dia begitu agar dianggap punya solusi. Tapi kemudian dibantah bawahannya sendiri. Karena ada larangan dari Kemendag untuk melakukan operasi pasar.
Artinya, Anies hanya membual agar pendukungnya senang. Soal eksekusinya di lapangan, itu urusan belakangan.
Namun baru saja kita dikejutkan. Ganjar Pranowo memberikan reaksi yang keras. Tapi Ganjar tetap empan-papan. Ia memberikan kritik terhadap Kemendag itu secara tatap muka. Dalam sebuah acara diskusi yang juga diwakili oleh pihak Kemendag, Ganjar menyampaikan keluhan rakyat bawah.
Dengan penyampaian kritik itu, Ganjar bersikap ksatria. Sekaligus menunjukkan tanggung jawab sebagai pemimpin. Bukan aksi nyinyir colong playu. Artinya, hanya berani komentar dari belakang. Giliran ketemu malah lemes.
Yang dilakukan Ganjar bukan begitu. Dia menyampaikan kritik secara langsung dengan terbuka. Dia paham kritikannya itu akan membuat gerah. Tapi ia sedang membela rakyat kecil. Mereka yang tidak punya corong untuk sampai ke Istana.
Lagipula, Ganjar menyampaikan itu dengan bahasa yang sopan. Langkah itu ditempuh, karena memang sudah tidak ada jalan lain. Yang berhak membuat kebijakan harga dan distribusi minyak goreng ya pemerintah pusat. Dalam hal ini Kemendag.
Memang, nasib sial kita punya Kemendag macam Luthfi. Gayanya boleh juga, tapi NATO. No action talk only.
Orang ini lahir dengan sendok perak di mulutnya. Tidak paham rasanya menjadi orang susah. Tidak tahu sedihnya menahan lapar. Maka ketika ia menjadi pejabat, kepalanya mendongak ke atas.
Sedangkan rakyat ada jauh di bawah. Rakyat hanyalah angka statistik. Suara serak mereka tak sampai ke telinganya. Kalaupun ada kegusaran, waktu yang akan melenyapkannya. Berlagak budeg saja selesai masalah.
Mendag tak punya kekuatan untuk mengendalikan kartel. Karena ia lahir dari lingkungan itu. Mustahil memercik air di dulang, atau kencing di kolam renang sendiri. Tindakan paling jauh yang bisa dia lakukan adalah mencari kambing hitam.
Kenapa persoalan minyak goreng yang mestinya sederhana ini menjadi berlarut-larut? Ya karena menterinya gak bisa kerja. Dan sedihnya, ia masih juga dipertahankan.
Bukan sekali ini saja ia menunjukkan keberpihakan pada kelompoknya. Kita tentu ingat komentarnya yang ngawur soal PCR dulu. Atau sebelumnya blunder Jokowi soal bipang yang disebabkan dirinya. Tapi meski begitu, dia aman-aman saja.
Saya curiga ada kekuatan besar yang menyandera Istana. Sehingga dibutuhkan teriakan yang sangat keras dari orang banyak agar didengar. Sebagai pembenaran untuk melakukan tindakan, reshuffle misalnya.
Kita beruntung masih ada orang yang berani mewakili keresahan publik ini. Kritik yang dilakukan Ganjar juga terukur dan tepat. Bukan kenyinyiran medsos atau komentar barisan sakit hati yang asal bunyi.
Memang, sehabis ini pasti Ganjar dijadikan target. Padahal sebenarnya dia hanya ingin menyuarakan jeritan rakyat kecil. Karena kebanyakan kepala daerah memang tidak punya cukup nyali untuk melakukannya.
Ganjar telah menerobos tembok tinggi dan melakukan kewajibannya sebagai pemimpin. Ada risiko yang ditanggungnya. Tapi begitulah semestinya sikap seorang pemimpin itu. Betah perih, wani lara. Tahan pedih, berani sakit. Asalkan itu dilakukan demi kepentingan rakyatnya.
Pemimpin bukanlah mereka yang hanya pandai berbuih-buih kata. Hobi ngibul dan pamer wacana. Tapi mereka yang berani berjuang untuk melaksanakan kata-kata.
Sebagaimana yang telah diingatkan oleh Rendra, “Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”
Ganjar telah membuktikannya hari ini. Ia memiliki sikap kepemimpinan. Berani melawan arus. Seperti yang dilakukan Walikota Solo, Jokowi, terhadap Gubernur Jawa Tengah saat itu, Bibit Waluyo.
Terkait kisruh minyak goreng, mungkin selama ini Ganjar terus menunggu adanya kebijakan dari atas, yang sialnya tidak juga muncul. Ia orang Jawa, dan tradisi mengharuskannya mengendapkan persoalan. Ngalah, ngalih, baru kemudian ngamuk.
Akhirnya hari ini ia melepaskan kata-kata yang dia serap dari kelompok akar rumput di sekitarnya. Kata-kata yang telah tertimbun melebihi batas kesabarannya. Kata-kata yang kemudian melesat cepat dan menggoyangkan dinding-dinding Istana…
Penulis
Kajitow Elkayeni