Ketika suhu di luar rumahmu mencapai 41 derajat dan aliran listrik di rumah tak tersedia, pendingin ruangan tak ada lagi gunanya.

Berapa lama anda akan bertahan, itu tergantung keseharian anda. Bagi mereka yang sejak kecil telah dibiasakan dengan kemudahan, dia paling cepat tumbang.

Tapi itu hanya soal selisih waktu saja. Bukan berarti yang terbiasa hidup susah akan lebih survive. Ini seperti efek domino. Semua tatanan akan segera colaps.

Gejala seperti ini sedang terjadi di Argentina. Negeri yang terletak pada sisi paling selatan di bumi ini sedang resah karena aliran listriknya terganggu.

Dan sialnya, pada bulan-bulan seperti saat ini, negeri itu masuk musim panas. Suhu udara di negeri paling dekat dengan kutub selatan itu kini mencapai rekor tertinggi yakni 41 derajat selsius. Tanpa solusi yang tepat dan cepat, situasi seperti itu akan bergerak liar.

Gejala apakah ini?

Perjanjian iklim Paris 2015 seharusnya bukan melulu soal lingkungan hidup. Bahwa di balik topik utama yang adalah menurunkan suhu bumi dan maka penggunaan energi berbasis karbon harus dikurangi secara drastis, ada tersimpan sinyal bahwa sesungguhnya energi fosil kita juga telah mendekati masa kritis.

KITA HARUS BERUBAH. itulah tema paling masuk akal untuk menjadi penekanan. Bukan sekedar menghimbau, Jokowi memulainya dengan aksi.

Rakus kita untuk selalu membakar sejak era industri telah sampai pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Energi itu mendekati habis dan namun kita belum mampu membuat teknologi pengganti secara global.

Gerakan kita secara bersama dalam massal adalah kunci jawaban itu dan Paris Agreement kita sepakati.

Sigap pemerintah Indonesia di bawah Jokowi patut kita apresiasi. Pelarangan eksport nikel mentah telah mendorong lahirnya banyak inisiatif bagi pendirian pabrik baterai di tanah air. Dan kita semua tahu bahwa baterai adalah solusi terdekat bagi pengganti pembakaran energi fosil.

Itu sekaligus tentang kontribusi kita pada Paris Agreement selain nilai tambah dan pencapaian teknologi sebagai kemutlakan yang harus kita kejar.

Pun ketika untuk tahun 2022 ini kembali pemerintah ingin melarang eksport barang mentah dalam rupa mineral dan batubara, ini tak sekedar tentang nilai tambah, ini juga tentang sumber daya alam kita yang semakin terbatas dan maka harus hati-hati.

Peran penting komponen timah, bauksit dan tembaga pada banyak aplikasi teknologi akan segera kita kuasai, menyusul seperti stainless steel dan baterai pada nikel. Dan itu tentang kemandirian bangsa ini.

Sama dengan Uni Eropa yang marah terkait kebijakan nikel, banyak negara yang tergantung pada minerba kita akan marah hanya soal waktu saja.

Menjadi salah satu raksasa dalam industri baterai mobil akan menuntun negeri ini masuk menjadi produsen mobil listrik. Komponen luar biasa vital terkait logam, perangkat hardware hingga software pada mobil itu, kelak akan butuh banyak sekali ketersediaan bahan baku bauksit, timah dan tembaga.

Itulah makna kebijakan yang berpihak pada rakyat. Ekspor barang mentah adalah bentuk pemborosan dan hanya akan menguntungkan pemilik tambang. Dan kita tahu bahwa pemilik tambang, sosoknya hanya itu-itu saja. Hanya segelintir elit negeri ini. Selama ini mereka terlalu merasa nyaman dengan sistem yang telah mereka buat.

Sambil berenang minum air, sambil membuat baterai dan mobil, kita persiapkan mineral bumi untuk pekerjaan berikutnya. Bukan dijual dalam kondisi mentah demi untung sesaat segelintir pihak. Di sana, semua elemen rakyat akan turut menikmati adalah target yang ingin pemerintah capai.

Baterai juga bicara tentang solar panel yang kelak akan kita pasang pada atap rumah kita. Sebelum hal itu terwujud, batubara, minyak bumi dan gas juga harus kita hemat dan kebijakan pemerintah yang berpihak pada rakyat banyak kita butuhkan.

Kita tak ingin seperti Singapore yang meski punya duit tapi tak tahu harus beli di mana bahan bakar fosil itu. Untuk itulah kebijakan berkesinambungan perlu dibuat.

Kita berharap ketika energi bersih mampu kita buat kelak, stock minyak, gas dan batubara masih tersedia di perut bumi sebagai bukti bahwa kita peduli pada anak cucu kita.

Sama seperti rakyat Argentina, kita marah manakala negara tak mampu memberi jaminan atas aliran listrik yang pasti. Hidup kita sudah sangat tergantung dengan listrik.

Tidak seperti Argentina, pendingin ruangan tak berfungsi karena listrik tak ada dapat membuat mereka marah, baterai HP kita “lowbat” dan tak dapat dicharge akan menyebabkan revolusi.

Doa kita, ibadah kita, keluh kesah kita hingga marah dan amuk kita sudah terbiasa kita ungkapkan melalu ponsel. Tanpanya, dunia serasa hampa.
.
RAHAYU
Karto Bugel

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here