Bunda Dorce memang Gamang lama, ketika ia terlahir dalam ujian takdir keadaan yg oleh sebagian orang dianggap sebagai ketetapan. Seiring dengan tumbuh menuju dewasa ia menyadari jiwanya terperangkap di dalam tubuh laki laki. Namanya yg melambung ke arena populeritas itupun dikenal sebagai “Waria”, wanita pria. Dan ia lalu mengambil keputusan berani dengan memilih jalan hidupnya melalui jalan tranformasi seksual. Dorce terlahir kembali sebagai seorang perempuan. Naluri keibuannya mendorongnya untuk mengasuh anak anak yatim dalam naungannya.
Dorce adalah sebuah fenomena transgender yg membuktikan pada dunia, pada agama, pada kebudayaan manusia, bahwa fakta itu ada. Dan itulah gambaran realitasnya. Dia sempat gamang lama di persimpangan antara Yin dan Yang, Lingga atau Yoni.
Tidaklah mungkin bagi seseorang merubah jiwa yg di dalamnya diletakkan tanda Tuhan bersama sama dan sama dengan cakrawala kehidupannya. Tapi mungkin baginya memodifikasi wadag dan wadah demi mendekati kesempurnaan jiwa itu. Hingga pada akhirnya, Dorce adalah seorang perempuan, meski fisikli tidak memiliki satu hak tertinggi perempuan, yaitu hak melahirkan dan menjadi ibu dari seseorang. Namun demikian dia mewujudkan dirinya sebagai seorang bunda dari sekian banyak anak anak yg kehilangan asuh dan kasih sayang orang tua.
Tak bisa disangkal bahwa Dorce diberi kelebihan lain dalam talenta dan kreatif. Sangat disayangkan jika aspek aspek manusiawi ini tidak dilihat sebagai bagian penting dari perspektif agama dan kemanusiaan. Padahal agama mengatakan ia datang untuk memudahkan, bukan menyulitkan. Dan kemanusiaan memiliki peri keadilan demi meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Dari Dorce kita melihat sebuah keunikan, bahwa ada yg diangap takdir tetap dalam satu situasi dan kondisi bisa menjadi takdir yg berubah. Terlahir sebagai laki laki, namun berakhir sebagai perempuan.
Bukan salah bunda mengandung jika Dorce layak di kebumikan sesuai keadaan jasadnya.
Penulis
Haidar Barang
Pegiat Medsos